JAKARTA. Penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS semakin membuat eksportir mainan menjerit. Per hari Selasa (10/8) kemarin, kurs rupiah kembali menguat di level Rp 8.928 per dolar AS. Melihat tren penguatan rupiah, Sudarman Widjaja, Ketua Pemasaran Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) memprediksi akan terjadi kenaikan harga ekspor. Ia mengatakan, mainan yang dipesan oleh negara tujuan ekspor tahun ini dijual dengan asumsi kurs rupiah berada di level Rp 9.500 sampai Rp 10.000 per dolar AS.Penguatan rupiah yang terjadi sebulan terakhir bikin eksportir mainan ketar-ketir. Pasalnya, ini membuat harga mainan Indonesia sulit bersaing dengan mainan China. Selama ini mainan Indonesia banyak diekspor ke benua Amerika, Eropa, dan Jepang. Di sana, harga mainan Indonesia mencapai US$ 80 sen sampai US$ 10 per unit.Ketika rupiah masih bertengger di kisaran Rp 9.000, harga ini masih lebih murah 2% sampai 3% dibandingkan dengan harga mainan China. Tapi, dengan semakin kuatnya rupiah, harga mainan Indonesia sebetulnya sudah 10% lebih mahal.Hal ini diperparah lagi dengan knenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sedianya dijanjikan maksimal 18%, namun pada praktiknya biaya listrik bisa naik sampai 25%. "PLN mengatakan, petunjuk teknis pelaksanaan TDL naik maksimal 18% itu belum ada, sehingga kenaikan bisa lebih dari itu," keluh Sudarman kepada KONTAN, Selasa (10/8).Memang, sampai kini APMI belum menaikkan harga ekspor. Namun, bila tiga bulan mendatang rupiah masih menguat, pengusaha akan menaikkan harga sekitar 10% sampai 11%. Dengan kenaikan ini, APMI khawatir target ekspor mainan tahun ini yang sebesar US$ 350 juta sampai US$ 400 juta sulit tercapai.Dalam waktu dekat, pengusaha juga akan mengadukan kondisi ini pada pemerintah. Dalam pertemuan itu, pengusaha mainan akan meminta pemerintah mengerem penguatan rupiah yang dinilai terlalu cepat. "Pemerintah bisa mengatur penguatan rupiah secara bertahap dengan membatasi SUrat Utang Negara di pasar global, sehingga hot money pun berkurang," terang Sudarman.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kurs Menguat, Eksportir Mainan Menjerit
JAKARTA. Penguatan kurs rupiah terhadap dolar AS semakin membuat eksportir mainan menjerit. Per hari Selasa (10/8) kemarin, kurs rupiah kembali menguat di level Rp 8.928 per dolar AS. Melihat tren penguatan rupiah, Sudarman Widjaja, Ketua Pemasaran Asosiasi Pengusaha Mainan Indonesia (APMI) memprediksi akan terjadi kenaikan harga ekspor. Ia mengatakan, mainan yang dipesan oleh negara tujuan ekspor tahun ini dijual dengan asumsi kurs rupiah berada di level Rp 9.500 sampai Rp 10.000 per dolar AS.Penguatan rupiah yang terjadi sebulan terakhir bikin eksportir mainan ketar-ketir. Pasalnya, ini membuat harga mainan Indonesia sulit bersaing dengan mainan China. Selama ini mainan Indonesia banyak diekspor ke benua Amerika, Eropa, dan Jepang. Di sana, harga mainan Indonesia mencapai US$ 80 sen sampai US$ 10 per unit.Ketika rupiah masih bertengger di kisaran Rp 9.000, harga ini masih lebih murah 2% sampai 3% dibandingkan dengan harga mainan China. Tapi, dengan semakin kuatnya rupiah, harga mainan Indonesia sebetulnya sudah 10% lebih mahal.Hal ini diperparah lagi dengan knenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang sedianya dijanjikan maksimal 18%, namun pada praktiknya biaya listrik bisa naik sampai 25%. "PLN mengatakan, petunjuk teknis pelaksanaan TDL naik maksimal 18% itu belum ada, sehingga kenaikan bisa lebih dari itu," keluh Sudarman kepada KONTAN, Selasa (10/8).Memang, sampai kini APMI belum menaikkan harga ekspor. Namun, bila tiga bulan mendatang rupiah masih menguat, pengusaha akan menaikkan harga sekitar 10% sampai 11%. Dengan kenaikan ini, APMI khawatir target ekspor mainan tahun ini yang sebesar US$ 350 juta sampai US$ 400 juta sulit tercapai.Dalam waktu dekat, pengusaha juga akan mengadukan kondisi ini pada pemerintah. Dalam pertemuan itu, pengusaha mainan akan meminta pemerintah mengerem penguatan rupiah yang dinilai terlalu cepat. "Pemerintah bisa mengatur penguatan rupiah secara bertahap dengan membatasi SUrat Utang Negara di pasar global, sehingga hot money pun berkurang," terang Sudarman.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News