Kurs Rupiah Tertekan, Mana Emiten LQ45 yang Tahan Banting?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berfluktuasi kencang pada paruh kedua 2022. Nilai tukar rupiah pun sempat ambles menembus level Rp 15.700 per dolar AS pada awal bulan November.

Research Analyst Reliance Sekuritas Lukman Hakim memandang kondisi ini bagai pedang bermata dua, termasuk untuk para emiten dalam indeks LQ45. Saat dolar perkasa, emiten yang melakukan aktivitas ekspor seperti pertambangan dan perkebunan berpotensi meraup untung.

Sebaliknya, kondisi itu akan meningkatkan beban emiten yang banyak melakukan impor untuk aktivitas bisnisnya. Seperti penggunaan bahan baku impor yang umumnya terjadi pada emiten farmasi, ritel dan tekstil. 


Beban kurs juga akan dirasakan oleh emiten yang banyak memiliki utang denominasi dolar AS atau yang menerbitkan global bonds. Lantaran dapat mengerek beban bunga atau beban pembayaran kupon obligasi.

"Perubahan nilai mata uang seperti pedang bermata dua yang dapat menguntungkan beberapa sektor dan dapat memberikan kerugian. Sehingga posisi ideal rupiah yaitu kestabilan nilai tukar," ungkap Lukman kepada Kontan.co.id, Senin (14/11).

Baca Juga: ASSA, MCAS, dan IPTV Keluar dari Indeks MSCI, Masih Menarik Dikoleksi?

Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro mengamini bahwa posisi ideal gerak kurs bagi emiten akan sulit tergambar. Sebab, setiap sektor memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap perubahan kurs.

Analis Aldiracita Sekuritas Indonesia Agus Pramono menambahkan, ada karakteristik yang juga berbeda pada dampak kurs terhadap utang dan bahan baku emiten. Dari sisi beban utang, Agus menilai pelemahan kurs 10% masih akan terkendali.

Sebab, emiten sudah mengantisipasi dengan lindung nilai atau hedging. "Saya melihat mereka sudah memitigasi, bahkan ada yang sudah melindung nilai hampir seluruh utang forex-nya, seperti TBIG," sebut Agus.

Baca Juga: Harga Nikel Kembali Bertenaga, Cek Rekomendasi Sahamnya

Berbeda cerita dengan dampak pergerakan kurs dari sisi bahan baku impor. Emiten akan lebih sulit mengantisipasi karena beban tidak bisa secara langsung dialihkan ke harga jual.

Alhasil, gross profit margin atawa margin laba kotor emiten bakal terpangkas. Agus pun mencontohkan kinerja PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) pada kuartal kedua 2022 yang terbebani rugi kurs.

"Beberapa memang exposure sangat tinggi, seperti INDF dan ICBP. Jadi secara umum posisi ideal adalah rupiah yang stabil. Bukan bergerak cepat baik menguat atau melemah seperti belakangan ini," ujar Agus.

Baca Juga: Sejumlah Saham Jadi Pendatang Baru Indeks MSCI, Simak Rekomendasi Sahamnya

Asal tahu saja, beberapa emiten LQ45 menderita rugi kurs dalam kinerja kuartal ketiga 2022. Contohnya PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) yang membukukan rugi selisih kurs Rp 43,19 miliar, melesat 317,42% secara tahunan (YoY).

Kemudian ada PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang berbalik jadi menderita kerugian selisih kurs senilai Rp 450 juta. Padahal per kuartal ketiga 2021 EXCL mampu mencetak keuntungan selisih kurs sebesar Rp 6,38 miliar.

Sebaliknya, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) justru bisa membalikkan posisi pada selisih kurs atas penjabaran laporan keuangan. Dari sebelumnya rugi Rp 64,12 miliar per kuartal ketiga 2021 menjadi untung Rp 6,94 miliar per September 2022.

Baca Juga: IHSG Berpotensi Melanjutkan Pelemahan Pada Selasa (15/11)

Presiden Direktur KLBF Vidjongtius mengungkapkan, hasil itu tak lepas dari kebijakan nilai tukar dengan posisi kas dalam mata uang asing yang selalu dijaga sekitar setara dengan US$ 50 juta dalam neraca perusahaan. "Policy ini bisa membantu kebutuhan valuta asing operasional," ujar Vidjongtius.

Oleh sebab itu, Nico menegaskan, strategi emiten mengelola risiko dan mitigasi volatilitas kurs akan sangat menentukan hasil pada pembukuan. "Emiten yang mayoritas bahan baku dari impor harus punya semacam exit strategy ketika kurs rupiah melemah sewaktu-waktu," kata dia.

Selain itu, emiten yang berhasil menumbuhkan keuntungan selisih kurs tak otomatis bisa mendongkrak laba bersihnya. Seperti yang dialami oleh PT Barito Pacific Tbk (BRPT) dan PT Chandra Asri Petrocemical Tbk (TPIA).

"Kinerja tertekan oleh lebih besarnya beban pokok penjualan atas pembelian bahan baku dibandingkan penghasilan atas pendapatan," papar Nico.

Baca Juga: IHSG Melorot 0,98% Dengan Net Sell Asing Rp 1,03 Triliun Pada Senin (14/11)

Sehingga, dibandingkan faktor kurs, kinerja emiten tetap akan lebih dominan bergantung pada variabel inti. Yakni volume penjualan, harga produk, dan pergerakan harga komoditas global.

Di sisi lain, pergerakan rupiah belakangan ini berfluktuasi kencang lantaran terbawa sentimen global, terutama gerak indeks dolar AS. Indeks dolar pun mulai melemah, sejalan dengan risiko pasar AS yang mereda pasca rilis penurunan inflasi.

Nico memprediksi, secara teknikal rupiah menembus level support di area Rp 15.500 dan berpeluang menguat kembali ke level Rp 15.350. 

Baca Juga: Wall Street Menguat di Awal Pekan, Investor Menunggu Sinyal Lanjutan The Fed

Rekomendasi Saham

Lukman melihat volatilitas kurs belum memberikan dampak yang signifikan terhadap harga saham. Apalagi Bank Indonesia juga ikut mengerek suku bunga untuk menjaga nilai tukar.

Tingkat inflasi Indonesia pun masih terjaga. Begitu juga dengan laju pertumbuhan ekonomi pasca pandemi. Sehingga, "Saat ini belum ada outflow investor asing yang sangat signifikan di jajaran saham-saham LQ45," sebut Lukman.

Dengan kinerja sektoral yang bervariasi, Nico turut menilai saham-saham LQ45 menarik dilirik menjelang akhir tahun. Terlebih untuk menangkap potensi window dressing yang akan mendongkrak kinerja sejumlah saham unggulan.

Nico menyoroti momentum sektoral masing-masing emiten. Misalnya pada saham-saham batubara yang secara kinerja masih kompak menunjukkan hasil yang cemerlang dalam periode sembilan bulan 2022.

Baca Juga: BI Diproyeksi Kembali Kerek Suku Bunga, Ini Dampaknya ke Pasar Saham Dalam Negeri

Saham-saham batubara bisa dicermati dengan price to earning ratio (PER) yang masih tergolong murah seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).

Hanya saja, Nico punya catatan. "Untuk saham sektor energi perlu juga melihat pergerakan harga komoditas global yang berpengaruh besar terhadap gerak harga sahamnya," imbuh dia.

Selain itu, saham perbankan big caps juga bisa jadi rujukan investasi. Nico menjagokan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI).

Agus juga merekomendasikan beli untuk saham BBRI dan BMRI dengan target harga masing-masing di Rp 5.800 per saham dan Rp 11.900 per saham. Kemudian, CPIN dengan target harga Rp 6.575 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati