Bermodal nekad, Kustinah memulai usaha pembuatan rempeyek. Kondisi ekonomi membuatnya tidak mempunyai pilihan lain. Dengan kerja keras bisnis rempeyek Kustinah berkembang pesat. Namun gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta pada 2006 sempat menggoyang usahanya hingga ambang kehancuran. Tujuh tahun lalu, Kustinah hanyalah seorang pekerja yang bertugas menggoreng rempeyek. Ia bekerja di sebuah usaha rempeyek di Desa Pelemadu, Bantul, Yogyakarta. Sedangkan suaminya Santoso cuma seorang penggali sumur. Keluarga Kustinah jauh dari kemewahan. Sebab, seringkali penghasilan yang mereka dapat dari usaha penggalian sumur dan pengoreng rempeyek tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, di saat musim hujan ketika permintaan penggalian sumur menurun drastis, suami Kustinah lebih banyak menganggur. Saat-saat itulah Santoso dan dua anaknya benar-benar hanya mengandalkan gaji Kustinah sebagai tenaga pengoreng rempeyek. "Akhirnya, suami saya bilang, kenapa kamu tidak membuat rempeyek sendiri saja?"ujar Kustinah.Pemintaan sang suami disambut keraguan oleh Kustinah. Namun, karena tidak ada pilihan lain, ia akhirnya memutuskan untuk memulai usaha pembuatan rempeyek. Bukan modal uang yang dimiliki oleh Kustinah, "Hanya modal nekad," katanya.Kustinah memulai usaha dengan membeli 7 kilogram kacang tanah untuk bahan baku. Modal awal itu dia peroleh dari orang tuanya. Sementara, untuk membeli tepung beras berasal dari pinjaman mertua. Selama dua hari Kustinah membuat rempeyek yang kemudian dijual suaminya ke Pasar Tjejeran, Bantul dan warung-warung di sekitar rumahnya. Sepeda ontel tua menjadi alat transportasi utama Santoso.Hasil penjualan rempeyek itu ternyata cukup membuat Kustinah tersenyum. Dia lalu menggunakan uang itu untuk membuat lebih banyak rempeyek. "Selama enam bulan pertama, kami mengerjakan sendiri semuanya," tutur Kustinah.Sebagai bentuk kasih sayang kepada suami, Kustinah memberi merek rempeyeknya dengan nama Santoso. Nama itu memberi berkah bagi Kustinah karena tak lama ia mendapat order dari agen yang dulu memesan rempeyek dari tempatnya bekerja sebagai tenaga penggoreng.Sejak saat itu pesanan terus mengalir. Kustinah pun memberanikan diri memperkerjakan satu pegawai. Jumlah pekerjanya terus bertambah hingga pertengahan 2005 menjadi tiga orang. Sepeda ontel andalan Santoso untuk berjualan disulap menjadi sepeda motor. Tapi, bukan Santoso lagi yang berkeliling, melainkan pegawainya.Memasuki tahun 2006, Kustinah sudah bisa memproduksi 1.000 bungkus rempeyek per hari. Ia membutuhkan 100 kilogram kacang tanah untuk bahan baku. Pasarnya juga semakin luas meliputi seluruh Yogyakarta.Nasib nahas menimpa. Gempa Yogya pada 2006 meluluhlantakan seluruh kerja keras Kustinah. Tapi, ia tak putus asa. Sebulan selang dari gempa, dia memulai kembali produksi rempeyek. "Semua masih tinggal di tenda darurat," katanya. Konsumen rempeyeknya para relawan yang membantu rekonstruksi di Desa Pelemadu. Tak beberapa lama, agen-agen rempeyek Kustinah mulai memesan kembali. Ia pun mengajak kembali pekerjanya berproduksi lagi. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Kustinah, usahanya sempat goyah dihantam gempa Yogya (2)
Bermodal nekad, Kustinah memulai usaha pembuatan rempeyek. Kondisi ekonomi membuatnya tidak mempunyai pilihan lain. Dengan kerja keras bisnis rempeyek Kustinah berkembang pesat. Namun gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta pada 2006 sempat menggoyang usahanya hingga ambang kehancuran. Tujuh tahun lalu, Kustinah hanyalah seorang pekerja yang bertugas menggoreng rempeyek. Ia bekerja di sebuah usaha rempeyek di Desa Pelemadu, Bantul, Yogyakarta. Sedangkan suaminya Santoso cuma seorang penggali sumur. Keluarga Kustinah jauh dari kemewahan. Sebab, seringkali penghasilan yang mereka dapat dari usaha penggalian sumur dan pengoreng rempeyek tak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, di saat musim hujan ketika permintaan penggalian sumur menurun drastis, suami Kustinah lebih banyak menganggur. Saat-saat itulah Santoso dan dua anaknya benar-benar hanya mengandalkan gaji Kustinah sebagai tenaga pengoreng rempeyek. "Akhirnya, suami saya bilang, kenapa kamu tidak membuat rempeyek sendiri saja?"ujar Kustinah.Pemintaan sang suami disambut keraguan oleh Kustinah. Namun, karena tidak ada pilihan lain, ia akhirnya memutuskan untuk memulai usaha pembuatan rempeyek. Bukan modal uang yang dimiliki oleh Kustinah, "Hanya modal nekad," katanya.Kustinah memulai usaha dengan membeli 7 kilogram kacang tanah untuk bahan baku. Modal awal itu dia peroleh dari orang tuanya. Sementara, untuk membeli tepung beras berasal dari pinjaman mertua. Selama dua hari Kustinah membuat rempeyek yang kemudian dijual suaminya ke Pasar Tjejeran, Bantul dan warung-warung di sekitar rumahnya. Sepeda ontel tua menjadi alat transportasi utama Santoso.Hasil penjualan rempeyek itu ternyata cukup membuat Kustinah tersenyum. Dia lalu menggunakan uang itu untuk membuat lebih banyak rempeyek. "Selama enam bulan pertama, kami mengerjakan sendiri semuanya," tutur Kustinah.Sebagai bentuk kasih sayang kepada suami, Kustinah memberi merek rempeyeknya dengan nama Santoso. Nama itu memberi berkah bagi Kustinah karena tak lama ia mendapat order dari agen yang dulu memesan rempeyek dari tempatnya bekerja sebagai tenaga penggoreng.Sejak saat itu pesanan terus mengalir. Kustinah pun memberanikan diri memperkerjakan satu pegawai. Jumlah pekerjanya terus bertambah hingga pertengahan 2005 menjadi tiga orang. Sepeda ontel andalan Santoso untuk berjualan disulap menjadi sepeda motor. Tapi, bukan Santoso lagi yang berkeliling, melainkan pegawainya.Memasuki tahun 2006, Kustinah sudah bisa memproduksi 1.000 bungkus rempeyek per hari. Ia membutuhkan 100 kilogram kacang tanah untuk bahan baku. Pasarnya juga semakin luas meliputi seluruh Yogyakarta.Nasib nahas menimpa. Gempa Yogya pada 2006 meluluhlantakan seluruh kerja keras Kustinah. Tapi, ia tak putus asa. Sebulan selang dari gempa, dia memulai kembali produksi rempeyek. "Semua masih tinggal di tenda darurat," katanya. Konsumen rempeyeknya para relawan yang membantu rekonstruksi di Desa Pelemadu. Tak beberapa lama, agen-agen rempeyek Kustinah mulai memesan kembali. Ia pun mengajak kembali pekerjanya berproduksi lagi. (Bersambung)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News