JAKARTA. La Nina menambah sentimen untuk potensi kenaikan harga minyak sawit mentah atau
crude palm oil (CPO). Apalagi, jika fenomena cuaca tersebut terjadi secara dasyat. La Nina menimbulkan efek intensitas hujan yang tinggi. Sifatnya pun merata, bisa terjadi di seluruh dunia. Kalau hujannya normal, itu menjadi berkah bagi kualitas produksi tanaman sawit. "Tapi kalau hingga menyebabkan banjir, ini malah bisa mengganggu produksi," ujar Investor Relation PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO), Michael Kusuma, Selasa malam (27/9). Sama seperti El Nino, La Nina bisa menyebabkan penurunan produksi dan stok CPO.
Analis KDB Daewoo Securities Andy Wibowo Gunawan sependapat. Menurutnya, kemungkinan terjadinya La Nina tahun ini dan tahun berikutnya bisa mengganggu produksi CPO Malaysia dalam jangka pendek. Untuk catatan, Malaysia merupakan salah satu negara dengan produksi CPO terbesar di dunia. "Dengan demikian, kami tidak begitu optimis bahwa kenaikan produksi Malaysia CPO dapat dipertahankan," tulis Andy dalam risetnya, (26/9). Stok yang berkurang akan memicu kenaikan harga apalagi jika permintaannya terus meningkat. Masalahnya, permintaan CPO dari China yang selama ini menjadi importir CPO terbesar mulai berkurang. Andy memprediksi, impor CPO China akan menurun ke 4,4 juta ton dan 3,7 juta ton masing-masing pada 2016 dan 2017. Untungnya, permintaan CPO dari India masih cukup tinggi. "Sehingga, kami percaya permintaan dari India bisa mengkompensasi turunnya permintaan dari China," imbuhnya. Sepanjang tahun ini atau
year to date (ytd), rerata harga CPO dunia berada pada level US$ 623,6 per ton. Sementara, proyeksi peralihan permintaan tersebut berpotensi meningkatkan harga CPO ke level US$ 636 per ton untuk tahun ini dan US$ 674 per ton. Secara garis besar, harga CPO saat ini memang jauh lebih kondusif. Kenaikan harga sudah terlihat sejak awal tahun ini karena penurunan volume. Volume produksi CPO SGRO semester I lalu turun 37%
year on year (yoy) menjadi 98.728 ton. Akibat turunnya volume tersebut, harga jual CPO SGRO naik menjadi sekitar Rp 8.000 per kilogram (kg). Padahal, harga CPO perseroan sepanjang semester I selalu berada dibawah level Rp 7.000 per kg. Tapi, lanjut Michael, apakah kenaikan harga tersebut bisa meng-offset volume produksinya sehingga membuat pendapatan emiten CPO menjadi lebih moncer lagi itu perlu dilihat lagi kedepannya. "Yang pasti, kenaikan harga ini merupakan sinyal positif jika industri sawit kembali positif. Disisi lain, kami memilik siklus kenaikan volume produksi pada kurtal IV, sehingga jika dikombinasikan dengan kenaikan harga ini akan membuat kinerja kami lebih positif," jelas Michael.
Sementara, atas dasar potensi kenaikan harga, Andy mempertahankan rating netral di sektor CPO.
LSIP dan
SSMS menjadi saham pilihan. "LSIP memiliki posisi keuangan yang sehat (zero debt diharapkan dalam jangka panjang). Untuk SSMS, kami percaya perseroan memiliki ruang yang signifikan untuk tumbuh karena profil usia perkebunan yang masih muda," jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sanny Cicilia