Laba Adaro tergores patokan harga batubara domestik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Adaro Energy Tbk perlu berhati-hati menjaga kinerja setelah pemerintah membatasi harga batubara domestik market obligation (DMO) untuk pembangkit listrik. Namun, para analis memprediksi, ekspansi bisnis emiten ini bisa menjadi penopang kinerja keuangan.

Seperti yang diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan harga batubara DMO untuk PLN sebesar US$ 70 per metrik ton. Harga tersebut berlaku hingga 2019.

Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada menilai, DMO ini sulit dihindari perusahaan berkode emiten ADRO tersebut. Pasalnya, ADRO beroperasi berdasarkan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sehingga memiliki tanggung jawab kepada pemerintah Indonesia. "Mau tidak mau ADRO tunduk pada aturan ini," kata dia, kemarin.


Analis BCA Sekuritas Prasetya Gunadi dalam riset 9 Maret memprediksi, beleid DMO bisa membuat laba bersih ADRO turun 15,32% menjadi US$ 409 juta pada akhir tahun nanti. "Sebelumnya, proyeksi kami harga batubara diperkirakan akan berada di kisaran US$ 90 per metrik ton pada tahun ini," tulis dia.

Namun, pendapatan emiten batubara tersebut masih bisa tumbuh. Hitungan Prasetya, pendapatan ADRO akan naik tipis 3,6% ke US$ 3,38 miliar pada akhir tahun nanti. Hal ini tidak lepas dari potensi meningkatnya produksi batubara ADRO yang menjadi 54,4 juta metrik ton dan penjualan sebesar 55,1 juta metrik ton.

Reza menambahkan, kemungkinan naiknya jumlah produksi dan penjualan batubara ADRO didukung oleh perbaikan ekonomi Indonesia maupun global. Alhasil, kebutuhan ekspor batubara meningkat seiring kenaikan permintaan dari negara lain.

Selain tetap menambah porsi penjualan ekspor batubara ke negara lain, ADRO dapat melakukan efisiensi. Hal ini mengingat pembatasan harga tersebut berpotensi menggerus keuntungan yang diperoleh ADRO, padahal emiten ini juga masih menanggung beban produksi yang besar.

Gencar ekspansi

Ekspansi bisnis yang dilakukan ADRO pada tahun ini berpotensi mengangkat kinerja emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak 2008 silam ini. Asal tahu saja, sejak Desember tahun lalu, ADRO melakukan kerja sama dengan perusahaan pembangkit listrik Electricity Generating Authority Thailand (EGAT), sebagai langkah ekspansi bisnisnya di kawasan Asia Tenggara.

Di samping itu, ADRO juga menggandeng EMR Capital dalam upaya mengikuti tender penjualan dua aset tambang batubara perusahaan asal Britania Raya, Rio Tinto yang berada di Australia.

Reza menilai, ekspansi lintas negara yang dijalani ADRO dapat membawa pengaruh positif bagi emiten tersebut. Hanya saja, ekspansi tersebut belum tentu menguntungkan ADRO secara jangka panjang. "Jika mulai banyak pabrik beralih ke energi alternatif, maka ekspansi ini dapat membawa dampak negatif juga," terang Reza.

Analis JP Morgan Sumedh Samant, dalam risetnya per 6 Maret, menilai, walau sebagian besar bisnis ADRO masih seputar pertambangan dan perdagangan batubara, emiten ini sebenarnya sudah mulai menaruh perhatian pada bisnis lain. Salah satunya adalah pembangkit listrik.

Saat ini, ADRO tengah membangun dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 680 MW di Batang, Jawa Tengah dan di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Kapasitas PLTU Tabalong sebesar 130 MW.

Sumedh memperkirakan, kedua pembangkit listrik tersebut dapat memberi kontribusi sebesar 12%–15% terhadap pendapatan ADRO ketika beroperasi kelak. Ia memberi rekomendasi overweight pada saham ADRO, dengan target harga Rp 2.700 per saham.

Reza dan Prasetya sama-sama menyarankan beli saham ADRO. Reza mematok target harga Rp 2.750 per saham, sementara Prasetya memasang target harga Rp 2.650 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini