KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hilal penurunan kinerja emiten pertambangan batubara mulai tampak. Ini tercermin dari kinerja keuangan emiten batubara yang tumbuh konservatif, bahkan ada yang labanya tergerus. Misalkan, PT Bayan Resources Tbk (
BYAN) membukukan pendapatan senilai US$ 1,04 miliar, naik 33,83% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 783,8 juta. Dari sisi
bottom line, BYAN mencetak laba bersih senilai US$ 463,1 juta di kuartal pertama 2023. Laba bersih ini naik 12,27% jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 412,4 juta. Pendapatan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (
ADRO) naik 50% secara tahunan menjadi US$ 1,83 miliar. Laba bersih Adaro hanya meningkat 14,5% secara tahunan menjadi US$ 458,04 juta.
Persentase pertumbuhan laba bersih PT Bumi Resources Tbk (
BUMI) juga melandai. Per kuartal pertama 2023, BUMI membukukan laba periode berjalan senilai US$ 60,2 juta, naik 39,3% dari laba bersih di periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 43,3 juta.
Baca Juga: Pembiayaan Alat Berat Terus Menopang Kinerja Bisnis Multifinance pada 2023 PT Bukit Asam Tbk (
PTBA) beda nasib. Emiten tambang pelat merah ini mencatatkan laba periode berjalan sebesar Rp 1,18 triliun, yang turun 48,44% secara YoY dari Rp 2,3 triliun pada kuartal pertama 2022. Dari sisi
topl ine, PTBA membukukan pendapatan sebesar Rp 9,95 triliun, hanya meningkat 21,35% secara tahunan dari Rp 8,20 triliun. Salah satu faktor penyebab kinerja konservatif ini adalah faktor pertumbuhan harga jual rata-rata alias
average selling price (ASP). Untuk PTBA, analis JP Morgan Sumedh Samant menyebut, ASP PTBA terkoreksi 20% secara kuartalan menjadi Rp 1,11 juta per ton. ASP Bukit Asam juga melemah 4% dari realisasi harga jual di kuartal pertama 2022 sebesar Rp 1,15 juta per ton.
Baca Juga: Kereta Anjlok Pengaruhi Kinerja Bukit Asam (PTBA), Simak Rekomendasi Sahamnya Dibebani naiknya royalti
Selain melemahnya harga jual batubara, kinerja emiten juga diperberat oleh kenaikan royalti. Untuk ADRO misalnya, Analis MNC Sekuritas Alif Ihsanario menilai, beban yang menjadi penyendat terbesar datang dari biaya royalti yang meningkat 227% YoY atau melonjak hingga 3,3 kali lipat menjadi 26,45% dari pendapatan, berbanding dari sebelumnya hanya 12,14% pada kuartal pertama 2022. Beban royalty ini memegang bobot dari total beban penjualan sebesar 45,22%. Royalti terutama disumbang dari PT Adaro Indonesia yang berkontribusi terhadap 75% dari total volume produksi ADRO, yang mendapatkan izin usaha pertambangan khusus sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian (IUPK-KOP) sejak September 2022. Hal ini seiring dengan revisi formula harga batubara acuan (HBA) serta royalti pemerintah dan IUPK-KOP, yang telah diproyeksikan akan mengerek biaya royalti menjadi antara 14% hingga 28% dari yang sebelumnya hanya 13,5%. “Royalti untuk semua pemain batubara naik seiring dengan penerapan peraturan yang baru,” kata Alif kepada Kontan.co.id, Jumat (5/5).
Baca Juga: Pengamat: Kebijakan Sektor Energi Maju Mundur, Dominan Dipengaruhi Faktor Politik Jika dibandingkan secara bobot terhadap
total cost of revenue, emiten yang mengalami peningkatan royalti paling besar secara berurutan adalah ADRO yang naik 89,46%, kemudian PTBA yang naik 59,64%, lalu BUMI yang naik 4,99%. Ini karena masih terdapat gap yang lumayan besar antara harga jual riil dengan harga batubara acuan (HBA). Sedangkan royalti ditentukan berdasarkan HBA. “Siasat yang dilakukan oleh emiten seperti PTBA adalah meningkatkan porsi ekspornya,” sambung Alif. Di sisi lain, emiten yang memiliki diversifikasi usaha non batubara akan lebih diuntungkan dari melandainya harga komoditas emas hitam ini. Seperti PT Indika Energy Tbk (
INDY), di mana bisnis baru di segmen nonbatubara telah membuahkan hasil. Melansir laporan keuangan per kuartal pertama 2023, ada tiga bisnis baru yang mulai menghasilkan pendapatan. Pertama, segmen bisnis mineral yang menghasilkan pendapatan US$ 1,75 juta. Kedua, INDY juga mempunyai segmen bisnis hijau yang hingga kuartal pertama 2023 menghasilkan pendapatan US$ 2,72 juta. Ketiga, INDY memiliki segmen
venture digital yang menghasilkan pendapatan sebesar US$ 1,98 juta. “Bisnis nonbatubara INDY sudah mulai berkontribusi positif dan bisa mengimbangi penurunan di segmen batubaranya ke depan,” kata Analis Henan Putihrai Sekuritas Ezaridho Ibnutama kepada Kontan.co.id, Jumat (5/5).
Baca Juga: Volume Penjualan Batubara Adaro Energy (ADRO) Naik 29% Sepanjang Kuartal I Ezar melihat, INDY aktif melakukan strategi akuisisi agresif yang jauh dari sektor batubara. Selain pembelian PT Indika Multi Properti sebesar 46% di PT Natura Aromatik Nusantara untuk masuk ke bisnis minyak atsiri, anak perusahaan INDY lainnya PT Indika Medika Nusantara membentuk perusahaan patungan (joint venture) dengan Bioneer Corporation bernama PT Bioneer Indika Group. Nantinya, perusahaan ini akan fokus di bidang kesehatan. Emiten besutan Arsjad Rasjid ini juga telah menandatangani nota kesepahaman dengan perusahaan kendaraan listrik atau
electric vehicle (EV) asal Korea Selatan, yakni Daeyoung Chaevi untuk pendistribusian stasiun pengisian daya Chaevi di Indonesia. Alif melihat, ke depan kinerja emiten batubara bakal melandai, seiring normalisasi konflik Rusia-Ukraina dan berkurangnya gangguan
supply-demand. Terlebih, saat ini dunia sedang dibayangi potensi resesi yang berpeluang menekan harga energi lebih dalam lagi. Menurut konsensus, harga batubara Newcastle diproyeksikan masih berpeluang
rebound ke area US$ 190 per ton menjelang kuartal ketiga dan keempat 2023. Peluang
rebound ini menimbang faktor
seasonality (musiman) peningkatan produksi baja dan aluminium yang membutuhkan energi pada musim gugur, serta persiapan menjelang musim dingin.
Baca Juga: HRUM: Permintaan Batubara di Pasar Global Masih Menunjukkan Tren Positif Tahun Ini Rekomendasi saham
Sepanjang tahun, harga saham batubara mengalami koreksi yang cukup dalam. Harga saham ADRO terkoreksi 25,45% sejak awal tahun atawa
year-to-date (ytd), harga saham PTBA melemah 5,42%, BUMI melemah 24,84%, INDY melemah 20,88%, dan saham PT United Tractors Tbk (
UNTR) melemah 4,12% Secara teknikal, analis Panin Sekuritas Christian Anderson Yuwono menilai, saham tambang batubara sudah mulai bergerak di dalam fase
downtrend dari
market structure lower low dan
lower high, dan juga bergerak di bawah MA200 daily. “Untuk saham-saham batubara bisa tunggu konfirmasi jika terjadi tanda-tanda pembalikan tren kembali menjadi
bullish,” kata Christian. Sehingga, dia merekomendasikan
wait and see saham-saham batubara, karena belum akan terkonfirmasi untuk bergerak
bullish.
Ezar mempertahankan rekomendasi
buy saham INDY namun dengan target harga yang lebih rendah, yakni di Rp 2.910 per saham dari sebelumnya Rp 3.700 per saham. Alif menyematkan rekomendasi
hold saham ADRO dengan target harga Rp 3.100 per saham. Ke depan, prospek ADRO masih cukup baik, didukung oleh prakiraan cuaca kering dari El Nino yang dapat mendukung operasional pertambangan. Selain itu, permintaan dari sejumlah negara seperti China, Korea, Malaysia dan Jepang tetap solid. Sementara Sumedh menyematkan rating
underweight saham PTBA dengan target harga Rp 2.800 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati