JAKARTA. Sektor properti menerima tantangan yang cukup berat di tahun lalu. Namun emiten sektor ini masih bisa menorehkan performa yang cukup menggembirakan. Ini nampak dari laba bersih emiten sektor ini yang rata-rata masih mencetak pertumbuhan laba bersih. Dari pantauan KONTAN, ada 15 emiten properti yang mencetak laba bersih. Dimana 15 emiten tersebut rata-rata mencetak laba bersih 79% secara tahunan atau
year-on-year (yoy). Sementara beberapa yang lain masih menderita penurunan laba bersih. Laba bersih dengan kenaikan terbesar adalah PT Plaza Indonesia Realty Tbk (
PLIN). Kendati penjualan PLIN hanya naik 9,3%, namun laba bersih PLIN naik 775% menjadi Rp 354,86 miliar. Ini karena, kerugian kurs PLIN turun dari Rp 214,14 miliar menjadi Rp 26,7 miliar serta hasil investasi naik menjadi Rp 24,3 miliar dari Rp 16,8 miliar di tahun sebelumnya.
Alhasil, laba per saham (EPS) PLIN naik dari Rp 11,42 menjadi Rp 99,96. Selain itu, laba bersih PT Cowel Development Tbk (
COWL) tumbuh 239% menjadi emiten dengan pertumbuhan laba nomor dua. Sementara performa terjelek milik PT Nirvana Development Tbk (
NIRO) yang merugi Rp 108,5 miliar dari sebelumnya untung Rp 6,36 miliar. Ini karena pendapatannya turun 68% dan beban NIRO meningkat. Laba bersih PT Sitara Propertindo Tbk (
TARA) turun 51,6% begitu juga laba bersih PT Duta Pertiwi Tbk (
DUTI) turun 11%. Meski begitu, Thendra Crisnanda, analis BNI Securities memperkirakan industri properti tahun ini masih tetap tumbuh. Keyakinan Thendra muncul lantaran ada indikasi penurunan suku bunga atau BI rate sehingga emiten properti akan mulai lebih agresif pada kuartal II. "BI rate berpotensi menurun 25 basis poin pada kuartal II," ujar dia. Karena itu, dia yakin, emiten properti masih menjadi penggerak di tahun ini. Rintangan Kepala Riset First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto menilai, sektor properti tahun ini masih akan tumbuh lantaran BI rate masih terkendali dan inflasi masih terjaga. "Apalagi sebagian ada yang tersokong oleh pembangunan infrastruktur terutama untuk kawasan industri," kata dia. Meski demikian, David melihat tantangan sektor ini tahun tetap masih besar. Salah satunya perlambatan ekonomi yang bisa menekan daya beli masyarakat serta tekanan nilai tukar rupiah yang akan menambah beban penjualan lantaran komponen material properti banyak bersumber dari impor. Thendra menambahkan, penurunan BI rate cukup besar menopang kinerja emiten properti. Sebab ini akan mempengaruhi daya beli masyarakat. Jika tidak, maka sektor akan melambat. Tantangan emiten properti yang menurut Thendra, juga bisa menghambat emiten properti adalah regulasi pemerintah tentang pembebasan lahan dan rencana pengenaan PPnBM. Jika regulasi pembebasan lahan tak jelas akan mempersulit pengembang tambah landbank. Sementara pelemahan rupiah bisa menekan emiten properti dengan utang dollar AS yang cukup besar seperti PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) dan PT Alam Sutera Realty Tbk (
ASRI). Kendati emiten tersebut sudah hedging, namun masih dalam batas Rp 13.000 per dollar AS. Sementara, rupiah masih ada kemungkinan melemah lagi sehingga beban utang semakin besar.
Dus, Thendra memperkirakan, pertumbuhan kinerja emiten properti tak akan sepesat tahun lalu. Dia menghitung, pertumbuhan laba bersih emiten properti hanya 19,6% sepanjang tahun ini. Thendra merekomendasikan, PT Summarecon Agung Tbk (
SMRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk (
BSDE), PT Pakuwon Jati Tbk (
PWON), PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (
KIJA), PT Ciputra Development Tbk (
CTRA) dan
LPKR. Sedangkan David menyarankan
SMRA,
LPKR, dan
BSDE. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa