JAKARTA. Kepulan laba industri rokok semakin menipis. Selain terhalang oleh pembatasan promosi, produsen rokok tertekan kenaikan cukai hasil tembakau. Setelah naik pada tahun ini, pemerintah berniat menaikkan lagi cukai hasil tembakau pada tahun depan. Mulai 1 Januari 2016, pemerintah menaikkan cukai rokok rata-rata sebesar 11,19%. Tak cuma itu, pemerintah mengerek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rokok menjadi sebesar 8,7%. Analis Samuel Sekuritas, Akhmad Nurcahyadi, dalam riset pada Jumat (24/6) lalu, menulis, pemerintah berupaya mengendalikan secara intensif industri rokok, salah satunya mempertimbangkan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Pada rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, setidaknya ada empat arahan yang berhubungan dengan upaya pengendalian tersebut. Pertama, imbauan menekan angka impor tembakau, dengan harapan akan mendorong kesejahteraan petani tembakau lokal. Kedua, rencana menaikkan cukai impor tembakau. Arahan ketiga dan keempat adalah mengerek cukai rokok dan mempersempit ruang gerak para perokok. Akhmad menilai, arahan presiden bukan hal baru. "Penandatanganan kerangka kerja FCTC telah lama akan dilakukan, namun selalu tertunda," kata dia. Ketimbang beberapa pemain di industri rokok, menurut Akhmad, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) memiliki daya tahan lebih kuat. Hal itu tecermin pada kinerja kuartal pertama tahun ini. Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, menilai, memang banyak aturan yang tak menguntungkan emiten rokok. Salah satunya aturan cukai hasil tembakau. Meski terhalang sejumlah isu, emiten rokok masih bisa bergerak. Dia melihat, penurunan suku bunga acuan berpotensi mengangkat daya beli masyarakat. Kondisi ini akan meningkatkan sektor konsumer, termasuk emiten rokok.