JAKARTA. Enam bulan pertama tahun ini, bisnis grup-grup konglomerasi besar mendapat banyak hantaman. Hampir semua grup besar yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat perlambatan pertumbuhan. Grup Astra misalnya. Kinerja PT Astra Internasional Tbk (ASII) bisa dibilang mengecewakan. Medio tahun ini, laba bersih ASII merosot 18% menjadi Rp 8 triliun dibanding periode sama tahun lalu. Anak usaha otomotif yang menjadi denyut nadi ASII terseret perlambatan ekonomi. Hanya segmen alat berat dan pertambangan naik tipis. Grup Salim yang banyak bergerak di sektor konsumer pun tak kebal guncangan ekonomi. Kinerja PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) banyak terkikis akibat pelemahan nilai tukar rupiah. Laba bersih INDF turun 25,3% menjadi Rp 1,73 triliun. Depresiasi rupiah memang menjadi salah satu penghambat kinerja emiten.
Salah satu sektor yang seharusnya diuntungkan dari depresiasi rupiah adalah emiten perkebunan CPO. "Kinerja grup yang memiliki perusahaan CPO ternyata melambat, karena harga komoditasnya tidak bergerak naik," ujar Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri kepada KONTAN, kemarin. Emiten kebun Grup Sinar Mas, PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) bahkan harus mencatat rugi bersih Rp 30,1 miliar pada semester I-2015. Padahal di periode yang sama tahun lalu, SMAR masih mencetak laba Rp 960 miliar. Emiten properti milik Sinarmas, PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) juga mencetak penurunan laba bersih 45% menjadi Rp 1,4 triliun. Begitu pun Grup Ciputra dan Grup Rajawali. MNC Group bahkan mencatat kerugian. Holding Grup MNC, PT MNC Investama Tbk (BHIT) harus rela merugi Rp 338,15 miliar pada semester I-2015. Pada periode yang sama tahun lalu, perusahaan milik Hary Tanoesoedibjo ini masih bisa untung Rp 226 miliar. Kerugian kurs jadi penyebab kerugian itu. Di antara kinerja konglomerasi yang tengah lesu, hanya Grup Lippo yang terlihat masih tumbuh tinggi. Misalnya, unit bisnis properti Lippo, yang berada di bawah payung PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR). Hingga akhir Juni 2015, pendapatan dan laba bersih LPKR masing-masing naik 16% dan 15% menjadi Rp 4,7 triliun dan Rp 775 miliar. Lippo tertolong pertumbuhan bisnis rumah sakit naik 27% ke Rp 1,9 triliun. David Sutyanto, Analis First Asia Capital, mengatakan, Grup Lippo memang gencar ekspansi. Dengan kas besar, Lippo memiliki banyak ruang menjajal bisnis baru, misalnya bisnis bioskop. Selain mengembangkan rumahsakit dan properti, Lippo juga tertopang bisnis ritel.
Dibanding grup lain, Grup Lippo belum matang (mature), masih harus memperluas bisnis. Sedangkan bisnis Grup Astra dan Grup Salim cukup
mature dan merajai pasar. Ketika ekonomi turun, kedua grup itu menjaga arus kas dan memperlambat ekspansi. "Lain dengan Lippo yang masih berusaha memperluas bisnis. Selain itu, sektor andalan Lippo defensif dibandingkan grup lain," ujar David. Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, mengatakan, masih ada harapan perbaikan ekonomi di kuartal ketiga. Bisnis grup besar yang tidak terpapar depresiasi nilai tukar bisa kembali tumbuh. Tapi, emiten yang banyak terkena rugi kurs karena depresiasi rupiah kemungkinan sulit untuk pulih. Pasalnya, kurs rupiah terhadap dollar Amerika Serikat diprediksi masih bisa melemah menjelang pengumuman suku bunga The Federal Reserve. Berkaca realisasi kinerja semester I yang mayoritas jeblok, Hans hanya memprediksi pertumbuhan laba bersih emiten sampai akhir tahun cuma 5% dibandingkan tahun lalu. Untuk rekomendasi saham sampai akhir tahun, David masih menyukai Grup Lippo, seperti SILO dan LPKR. Begitu juga Hans yang memilih MPPA dan LPPF. Sementara Satrio yakin di jangka lebih panjang, kinerja Grup Salim meningkat, sehingga ia merekomendasikan saham ICBP. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie