KONTAN.CO.ID - Wisata kuliner sudah menjadi agenda wajib saat liburan ke berbagai daerah, bahkan negara. Bagi sebagian pelancong, berburu makanan khas lokal yang sedap lagi unik justru merupakan acara utama. Kegemaran orang berwisata kuliner membuat festival makanan semakin marak. Dengan menyajikan beragam makanan khas dari berbagai daerah dan negara dalam satu lokasi, tentu memudahkan para pencinta kuliner menikmati makanan yang enak-enak. Tanpa perlu menyambangi satu per satu di masing-masing daerah. Nah
, festival atau pameran kuliner jelas tidak akan berjalan sukses tanpa kehadiran penyelenggara acara atawa beken dengan sebutan
event organizer (EO). Mereka memang hanya menggelar festival kuliner saja.
Salah satu pemain di bidang ini: Jakarta Innovative & Interactive Solution Communications (JIISComm). EO yang menggeluti festival makanan sejak 2012 ini telah menggandeng 300 pelaku kuliner terseleksi dari seluruh Indonesia. Mereka memiliki kekhasan dengan menyelenggarakan festival ragam kuliner tradisional Indonesia. “Kami memang punya visi untuk memajukan kuliner nusantara,” ujar Febriyanto Rachmat, Pendiri sekaligus
Chief Executive Officer (CEO) JIISComm. Maklum, Febriyanto bilang, prospek bisnis EO festival makanan khususnya kuliner nusantara sangat cerah. Sebab, potensi masakan khas daerah di negeri ini belum tergali dan terpublikasi dengan baik. Secara bisnis, jika penggarapannya bagus, festival makanan berpotensi mendatangkan perusahaan besar untuk berkongsi dan tentu fulus yang melimpah. Febriyanto mencontohkan, event kuliner tahunan bertajuk Kampoeng Legenda yang bekerjasama dengan Mal Ciputra, Jakarta. Tahun lalu, ia berhasil mendatangkan 94
tenant yang memiliki kekhasan di daerah-daerah, mulai Sate Babi Bawah Pohon dari Bali hingga Es Cong Lik yang legendaris asal Semarang. “Selama 12 hari, omzetnya Rp 8 miliar,” ungkapnya. Saat ini, JIISComm rata-rata bisa menyelenggarakan 24 festival makanan per tahun. Mereka telah menjalin kerjasama dengan pusat perbelanjaan terkemuka, seperti Mal Ciputra, Margocity, dan Central Park. Sumber pendapatan Menurut Dewi Setiadi, Pemilik Neo Aquila, festival kuliner bakal makin punya banyak penggemar seiring makin malasnya masyarakat memasak sendiri di rumah. Mereka lebih suka mencari makanan di luar. Salah satunya, di pameran makanan. “Dibanding empat tahun lalu, permintaan penyelenggaraan festival kuliner tumbuh hingga 70%,” kata dia. Berbeda dengan JIISComm, EO besutan Dewi tidak fokus pada masakan nusantara. Neo Aquila menggelar berbagai festival kuliner, mulai tradisional, internasional, modern, sampai campuran. Berdiri 2014 lalu, saban bulan Neo Aquila menghelat dua festival kuliner. “Transaksi terbesar mencapai Rp 2,5 miliar saat pameran di Kota Tua Jakarta setahun lalu,” sebut Dewi. Untuk omzet per bulan, Dewi bisa mengantongi Rp 250 juta–Rp 500 juta. “Margin bisnis ini 15%–20%,” beber Dewi. Pendapatan penyelenggara acara festival kuliner berasal dari tiga sumber, yakni:
Pertama, kontrak putus dengan pelaku kuliner yang menjadi
tenant. Lewat skema ini, EO akan menawarkan
booth dengan tarif tertentu.
Kedua, sistem bagi hasil atau
revenue sharing. EO tidak memungut biaya sewa
booth, tapi meminta bagian dari pendapatan para pelaku kuliner selama berjualan di festival.
Ketiga, kerjasama dengan perusahaan. Dalam skema ini, perusahaan akan menjadi sponsor utama dan membayar seluruh biaya penyelenggaraan festival kuliner. EO hanya sebagai pelaksana pameran. Neo Aquila lebih banyak menggunakan sistem kontrak putus. Untuk
booth ukuran 2 meter x 2 meter, biaya sewanya Rp 5 juta hingga Rp 7 juta selama festival berlangsung. Sementara JIISComm lebih memilih konsep bagi hasil pendapatan, dengan porsi 30% untuk EO dan sisanya 70% buat pelaku kuliner. “Dengan sistem ini, kami pihak penyelenggara juga berkepentingan terhadap kesuksesan mitra. Karena omzet mereka gambaran omzet kami,” kata Febriyanto. Tapi, JIISComm juga harus membagi pendapatan mereka dengan pemilik tempat yang jadi lokasi festival kuliner yang kebanyakan adalah pengelola mal. Persentasenya berbeda-beda, namun yang paling sering EO memperoleh 60%. Melalui sistem ini, rata-rata omzet JIISComm per bulan mulai Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Margin mereka ada di kisaran 10%–20% per pameran. Jualan konsep Bagi yang tertarik bisnis EO festival kuliner, Febriyanto menuturkan, pada dasarnya konsepnya tidak berbeda dengan penyelenggara pameran lain. Hal pokok yang harus dimiliki adalah konsep yang jelas dan menarik. Lebih spesifik lebih bagus. Misalnya, festival hidangan penutup (
dessert) atau soto khas nusantara. Setelah menetapkan konsep, mulai mencari calon
tenant potensial. Informasinya bisa didapat dengan berselancar di dunia maya. Lalu, melakukan promosi di berbagai saluran termasuk media sosial. Febriyanto mengungkapkan, mencari calon
tenant merupakan bagian yang tersulit buat EO baru. Soalnya, enggak mudah meyakinkan pelaku kuliner terutama dari daerah untuk bergabung dalam sebuah festival di Jakarta atau kota-kota besar lainnya. Kebanyakan dari mereka khawatir belum siap untuk tampil di sebuah festival. Ada juga yang khawatir pamerannya bodong. Makin sulit mengajak pelaku kuliner yang sudah punya nama besar. Tapi, sekali terbukti festival kuliner berjalan sukses, biasanya para pelaku kuliner bakal loyal. “Intinya, harus meyakinkan mereka dengan konsep yang jelas,” ujar Febriyanto. Dulu, sebagai pemain baru, Dewi mengajak pelaku kuliner yang memiliki kedekatan kekerabatan, baik dengan dirinya maupun anggota timnya. Ia juga mengandalkan teman-temannya yang punya kedekatan dengan para pelaku kuliner. Kalau berhasil menyelenggarakan sebuah festival kuliner, maka ke depan bisa lebih mudah untuk meyakinkan calon
tenant potensial termasuk yang sudah kondang. “Makin banyak portofolio, makin mudah meyakinkan mitra,” kata Dewi. Tapi tetap, saat melakukan pendekatan kepada para pelaku kuliner, Dewi menjabarkan potensi jumlah pengunjung festival dan keuntungan yang melebihi dari penghasilan sehari-hari. Maklum, yang juga jadi kekhawatiran pelaku kuliner adalah omzet selama pameran yang lebih kecil. “Sebutkan juga target pengunjung,” imbuh Dewi mengingatkan. Sudah barang tentu, pemilihan lokasi festival juga menjadi kunci dalam menggaet mitra sekaligus kesuksesan acara. Semakin ramai tempat yang bakal jadi lokasi pameran, prospek kesuksesan festival semakin cerah. Salah satu lokasi potensial buat festival kuliner ialah pusat perbelanjaan. Selain itu, Dewi menambahkan, agar EO juga mempertimbangkan kemudahan untuk mendapatkan air bersih. “Air penting karena aktivitas terbesar dari pameran adalah masak-memasak,” tegas Dewi. Seperti ke pelaku kuliner, tak mudah meyakinkan pemilik atau pengelola tempat yang bakal jadi lokasi festival. Karena itu, baik Dewi maupun Febriyanto sepakat, EO harus bisa menjelaskan konsep dengan baik dan menarik kepada mereka. Meski belum memiliki nama, kalau konsep pameran kuliner yang EO tawarkan unik, lazimnya pemilik atawa pengelola tempat mau bekerjasama. Ambil contoh, Kampoeng Legenda di Mal Ciputra, Jakarta, garapan JIISComm. Terbukti, konsep festival yang menghadirkan makanan legendaris ini menarik banyak minat pengelola mal
. Tapi, JIISComm menolak menggelar pameran serupa di mal lain. “Memang, konsep kami
signatured untuk tiap pengelola mal agar bisa jadi ciri khas dan bisa diadakan tiap tahun,” ungkap Febriyanto. Untuk karyawan, Anda bisa mulai dengan minimal lima orang saja. Mereka diplot di bagian pemasaran
tenant, produksi, bagian umum, sponsor, serta pemasaran digital.
Menurut Febriyanto, modal yang dibutuhkan untuk melaksanakan sebuah festival kuliner bervariasi. Sebut saja, biayanya Rp 300 juta. Maka sekitar 40% akan dialokasikan untuk bagian produksi dan operasional selama pameran berlangsung. Pos selanjutnya yang menguras modal biasanya sewa tempat. Porsinya 10% hingga 15%. Siapa yang berminat? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan