KONTAN.CO.ID - Gaya hidup sehat tentu tak bisa lepas dari pola makan. Seiring gaya hidup sehat yang semakin tren, maka minat masyarakat untuk mencoba makanan sehat juga ikut meningkat. Salah satu sumber makanan sehat adalah bumbu masakan yang bebas dari segala bahan pengawet dan kimia lainnya. Inilah kenapa bumbu organik kian punya banyak peminat. Bumbu ini tanpa MSG dan rendah natrium termasuk glukosa. Namun, kesibukan di era modern membuat banyak orang tak bisa mengolah sendiri bumbu organik saban dia memasak. Maka, terbuka lah peluang bisnis bumbu organik instan.
Menurut Stefanny Monica, pemilik House of Organix asal Jakarta, mulai 2015 lalu, masyarakat Indonesia melirik bumbu organik dan trennya terus meningkat. “Kalau di luar negeri, mungkin sudah sejak tujuh tahun lalu,” ujarnya. Menangkap peluang ini, Stefanny pun mulai berbisnis bumbu masak organik sejak tiga tahun silam. Selain punya tempat produksi sendiri, ia juga menjalin kerjasama dengan sejumlah industri rumahan. Dalam sebulan, ia bisa menjual 3.000 hingga 4.000 kantong bumbu organik. “Harganya mulai Rp 22.500 sampai Rp 400.000 per kantong,” imbuh Stefanny. Memang, Fitria Harun, pemilik bumbu organik Halawa dari Malang, Jawa Timur, menuturkan, minat masyarakat terhadap bumbu masak organik terus meningkat. Seiring pengetahuan masyarakat yang makin bertambah tentang hidup sehat, keinginan mencari bumbu masakan yang lebih sehat juga ikutan terdongkrak. Menurut Fitria, bahan organik memiliki manfaat jangka pendek sekaligus panjang. Manfaat jangka pendek dari kebiasaan mengonsumsi bahan-bahan organik akan membuat daya tahan tubuh meningkat. Sedangkan manfaat jangka panjangnya, tubuh akan terbebas dari racun berbahaya yang berasal dari pestisida, bahan pengawet, hingga tambahan hormon di daging hewan. Halawa menawarkan banyak produk bumbu masak organik, seperti bumbu kuning, terasi udang juwana, hingga kaldu sapi. Fitria sudah membuat dan menjual bumbu organik semenjak 2014 lalu. Sebelumnya, ia memiliki usaha katering makanan. Setelah permintaan bumbu organik menanjak, dia mulai fokus memproduksi penyedap masakan organik. “Dalam dua tahun terakhir, permintaan naik 100%,” ujarnya. Saat ini, Fitria mempunyai rumah produksi seluas 150 meter persegi dan bisa memproduksi 2.000 hingga 3.000 kantong bumbu organik per bulan. Dengan harga per kantong Rp 30.000 hingga Rp 450.000, tak kurang dari Rp 350 juta penghasilannya saban bulan. Fitria mengungkapkan, konsumen Halawa tersebar di 25 kota di Indonesia. Namun, sebanyak 45% konsumen masih berada di Pulau Jawa. Memastikan bahan baku Dalam berbisnis bumbu masak organik, Fitria menekankan pentingnya mencari bahan baku. Untuk memastikan bahan-bahannya terjamin, ia menggandeng sejumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Malang, Surabaya, dan sekitarnya. Syaratnya, pelaku UMKM yang jadi mitra harus mengantongi rekomendasi dari Institut Teknologi Surabaya (ITS). “Memastikan produk benar-benar organik ialah salah satu keunggulan kami,” kata Fitria. Tidak hanya dari Malang, Surabaya, dan sekitarnya, Fitria juga mendapat pasokan bahan baku dari pelaku UMKM di daerah Jawa Barat. Ia lagi-lagi mengandalkan kerjasama dengan pihak kampus, yakni Institut Pertanian Bogor (IPB). Sedangkan Stefanny memperoleh bahan baku organik melalui kongsi dengan UMKM di Tangerang dan Sukabumi. Untuk memastikan bahan tersebut betul-betul organik, dia memiliki karyawan yang memiliki dasar keilmuan di bidang pangan. Tugasnya adalah mengecek kondisi bahan baku. “Kami langsung cek ke lokasi mitra,” ucap Stefanny. Untuk bisa memulai usaha ini, baik Fitria maupun Stefanny sepakat, yang paling penting adalah memastikan bahan baku benar-benar organik. Jangan sampai mengecewakan konsumen. Jika kepercayaan luntur, pelanggan bakal kabur. “Apalagi, pesaingnya kini sudah mulai banyak,” sebut Fitria. Faktor penting lain untuk meyakinkan konsumen adalah memiliki izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Dinas Kesehatan setempat. Untuk mengurus izin BPOM, Fitria bilang, sekarang bisa via
online. Berbeda saat ia mengurus dulu yang harus datang langsung ke kantor BPOM di daerah. Alhasil, butuh waktu hingga 10 bulan. Sertifikat ini berlaku selama lima tahun dan harus segera diperbarui menjelang masa berlakunya habis. Setelah melengkapi dokumen dan prasyarat lainnya, petugas BPOM akan memeriksa kelayakan produk bumbu masak organik. Fitria mengatakan, petugas BPOM bisa datang empat hingga enam kali. Petugas bakal melakukan pengecekan bahan baku, proses pembuatan, hingga tempat produksi dan pengemasan. Sayangnya, baik Fitria maupun Stefanny enggan membeberkan berapa biaya yang mereka habiskan untuk mengurus perizinan di BPOM. Yang tidak kalah penting adalah mendapatkan sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Waktu yang dibutuhkan untuk pengurusan sertifikat halal ini maksimal enam bulan. Cukup dengan menghubungi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI yang ada di masing-masing provinsi. Biayanya berkisar Rp 1 juta hingga Rp 4 juta tergantung produk. “Masa berlaku sertifikat halal hingga dua tahun,” ujar Fitria. Setelah urusan bahan baku, izin edar, dan sertifikasi halal kelar, selanjutnya adalah sumber daya manusia (SDM) yang mengolah produk ini. Harus ada pekerja yang memahami masalah pangan. “Ini buat memastikan kualitas dan proses pengolahan,” kata Stefanny. Kombinasi online-offline Secara umum, pengolahan bumbu masak organik bisa secara tradisional dengan tangan maupun menggunakan bantuan mesin khusus. Bagi pebisnis pemula, bisa memulai dengan cara yang pertama. Sewaktu memulai usaha ini, Stefanny belajar dari beberapa koleganya yang memang ahli di bidang bumbu dapur organik. “Ada juga yang belajar secara autodidak,” imbuhnya. Untuk mesin produksi, bisa dengan mudah Anda temukan di kota-kota besar di Indonesia. Harganya bervariasi, mulai Rp 35 juta hingga Rp 100 juta tergantung kualitasnya. Sebab, ada yang buatan lokal, ada pula bikinan luar negeri. Anda juga bisa membelinya secara
online. Tapi, Stefanny menyarankan, agar mendatangi langsung toko yang menjual mesin itu. Sebagai gambaran, modal awal yang harus disiapkan untuk memulai usaha bumbu masak organik sekitar Rp 100 juta. Sebagian besar tersedot untuk alat produksi, biaya pemasaran, dan bahan baku. Fitria mengaku, bisnis ini bisa menghasilkan untung 25%–35%. Stefanny menyebutkan, bahan baku mengambil porsi 20%–25% dari harga jual produk. Memang ada bahan baku bumbu organik yang harganya lebih murah, tapi untuk kualitas, dia tidak berani menjamin. Lantaran merupakan produk bahan pangan, maka harus mengantongi izin edar dan sertifikat halal. Jika masih mengurus izin dan sertifikasi, Fitria menyatakan, penjualan biasanya agak terbatas kepada orang-orang terdekat saja. Tetapi, kalau izin dan sertifikat sudah ditangan, tentu penjualan bisa lebih cepat berkembang.
Untuk strategi pemasaran, jelas paling efektif lewat saluran daring. Bisa dengan membuat
website sendiri atau lewat media sosial yang sekarang sedang menjadi tren. “Jangan lupa, juga memanfaatkan situs
marketplace yang mulai menjamur,” tambah Fitria. Meski begitu, jalur pemasaran
offline dan keagenan tetap ditempuh. Ini untuk mengantisipasi konsumen yang belum melek internet. Soalnya, pangsa pasar bumbu organik kebanyakan ibu rumahtangga. Tren gaya hidup sehat dengan mengonsumsi makanan sehat, membuat prospek bumbu masak organik meyakinkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan