JAKARTA. Lagi-lagi kasus investasi bodong memakan korban. Kali ini 1.800 investor terkecoh oleh penipuan investasi infrastruktur pertambangan batu bara. Kali ini, Coal Trade and Investment menjanjikan keuntungan tinggi dengan investasi mirip jejaring Multi Level Marketing (MLM). Investasi yang ditawarkan oleh Coal Trade and Investment adalah dengan menjanjikan keuntungan dari bisnis infrastruktur konsensi pertambangan. Kuasa Hukum para nasabah yang menjadi korban, Firmauli Silalahi mengungkapkan, pihaknya telah melaporkan tiga tersangka atas nama Rina Julita, Dedi Yuspa dan Frans Iwan Djaya Djaphar, dengan tuduhan pasal 378 dan 372 mengenai perbuatan penipuan. "Jumlah kerugian 1.800 nasabah adalah sebesar Rp 43 miliar. Modusnya adalah melakukan investasi bodong dengan bisnis infrastruktur pertambangan," kata Firmauli di Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Jumat (26/7).
Kronologisnya adalah, Rina dan Dedi merupakan pasangan suami istri, menjaring nasabah dengan mengatakan bahwa pihaknya melakukan kerjasama dengan PT Gracia Invecsindo dalam bidang infrastruktur pertambangan dengan lahan konsesi tambang di Sebulu, Samarinda, Kalimantan Timur. Rina dan Dedi bertindak sebagai penghimpun dan pengelola dana nasabah, yang selanjutnya diserahkan kepada Frans yang merupakan Direktur PT Gracia Invecsindo untuk diputar sebagai usaha di lahan konsesi pertambangan milik putra daerah atas nama Koperasi Yayasan Al-Qaubah. Nah, PT Gracia Invecsindo dikatakan sebagai perusahaan yang menyediakan infrastruktur berupa jalan dan juga angkutan dari dan ke lahan konsesi pertambangan milik Koperasi Yayasan Al-Qaubah. Dari kerjasama ini, PT Gracia dan Al-Qaubah membagi hasil keuntungan yang kemudian diberikan kepada para nasabah. Untuk meyakini nasabah yang telah menjadi member alias anggota, dana investasi langsung dikirimkan ke rekening atas nama PT Gracia Invecsindo yang notabene-nya dimiliki oleh Frans. "Tapi begitu uang dari nasabah sampai di rekening Gracia, Rina langsung mengambil lagi uang tersebut. Jadi dana ini tidak sempat di investasikan," jelas Firmauli. Yang mengejutkan lagi, CTI hanya merupakan kelompok perkumpulan yang hanya didirikan oleh notaris. Dengan bermodalkan surat keterangan notaris, CTI berani menghimpun dana dari nasabah dengan menjanjikan jika terjadi sesuatu dengan CTI, yang bersangkutan berjanji untuk mengembalikan dana nasabah dalam jumlah utuh ditambah dengan suku bunga tertinggi. Nilai investasi awal yang ditawarkan Rina, Dedi dan Frans, terbilang ringan. Satu unit investasi dihargai sebesar US$ 500 atau setara dengan Rp 5 juta. Namun, jika tertarik berinvestasi, nasabah dikenakan biaya administrasi anggota sebesar Rp 2,25 juta per satu unit. Dengan investasi yang ringan ini, tak ayal banyak nasabah yang tertipu. Para nasabah yang menjadi korban, tersebar dari Medan, Batam, Lampung, Jakarta, Bandung, Kupang, Kalimantan dan yang paling banyak adalah Bali.
Dalam upayanya menghimpun dana nasabah, Rina dan Dedi pertama kali membuka kantor CTI di bilangan Permata Hijau, Senayan, Jakarta Selatan. Tak tanggung, CTI bahkan membuka seminar investasi di hotel-hotel ternama di Bali saat menjaring nasabahnya. Nasabah diundang dalam suatu seminar investasi yang seringnya mendatangkan narasumber yang dinilai kompeten seperti dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Dalam upaya memperoleh kembalinya dana nasabah, selain melakukan pelaporan kepada Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, pihak Kuasa Hukum juga akan melakukan langkah hukum lanjutan berupa gugatan hukum perdata. Dasar hukum gugatan tersebut, kata Firmauli adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan juga perbuatan ingkar janji atau wanprestasi. "Gugatan perdata sedang kami buat draf gugatannya. Akan kami ajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengingat kantor pertama CTI adalah di bilangan Jakarta Selatan," ujar Firmauli. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.