KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelaran konferensi B20 dan G20 menjadi momentum untuk menggeber ekspansi agresif emiten di bisnis kendaraan listrik. Tengok saja anak usaha PT Barito Pacific Tbk (
BRPT), Star Energy Geothermal (SEG) yang meneken nota kesepahaman (MoU) bersama PT PLN (Persero). MoU terkait penyediaan infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) untuk operasional kendaraan listrik alias
electric vehicle (EV) berbasis baterai di wilayah operasi Star Energy. Penandatanganan MoU dilakukan disela acara B20, Nusa Dua, Bali. Selanjutnya, ada Electrum yang menandatangani pokok-pokok kerja sama
terms sheet dengan Pertamina NRE, anak usaha PT Pertamina (Persero). Electrum merupakan perusahaan patungan PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (
GOTO) dan PT TBS Energi Utama Tbk (
TOBA).
Electrum dan Pertamina NRE menjajaki kerja sama ekosistem kendaraan listrik. Termasuk kolaborasi terkait infrastruktur baterai seperti pengembangan teknologi, manufaktur, hingga komersialisasi.
Baca Juga: Periksa Harga Mobil Listrik Wuling Air EV, Jadi Pilihan Hatchback Mungil Masih dari Bali, Volta menjalin kerja sama dengan Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dalam penyediaan sewa motor listrik di kawasan The Nusa Dua tempat penyelenggaraan KTT G20. Volta merupakan anak usaha PT NFC Indonesia Tbk (
NFCX), Grup dari PT M Cash Integrasi Tbk (
MCAS) yang salah satunya menggarap motor listrik. JPMorgan ASEAN Equity melihat saham terkait EV sebagai pilihan yang menarik untuk tahun depan. Terlebih, Indonesia memiliki cadangan nikel dalam jumlah besar. Kemudian, pemerintah juga berencana untuk memberikan subsidi dalam pembelian kendaraan listrik. Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih turut memproyeksikan ekosistem EV akan tumbuh pesat. Hal ini didukung oleh bahan baku pembuatan baterai listrik sebagai komponen utama EV yang banyak terkandung di Indonesia, seperti nikel, kobalt, aluminium, dan tembaga. Baca Juga:
Star Energy Geothermal (SEG) Dorong Penggunaan Kendaraan Listrik untuk Operasional Transisi EV yang sedang menjadi tren global memberikan
multiplier effect, yaitu meningkatnya permintaan bahan baku komponen baterai. Kondisi ini bisa mengerek permintaan dan harga logam, yang menjadi peluang bagi sejumlah emiten. Misalnya saja PT Aneka Tambang Tbk (
ANTM), PT Vale Indonesia Tbk (
INCO), dan PT Timah Tbk (
TINS). Bergerak ke sisi hilir produk EV, Ratih menyoroti PT Gaya Abadi Sempurna Tbk (
SLIS) yang menggarap produk sepeda listrik dan motor listrik. Penjualan EV telah menopang pendapatan SLIS. Di sisi lain, sejumlah emiten ramai menggeber diversifikasi pada segmen EV dengan menggarap motor listrik. Selain yang sudah disebutkan di atas, ada juga PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (
WIKA) dengan produk motor listrik Gesits. Kemudian PT Indika Energy Tbk (
INDY) dengan produk motor listrik Alva One. Baca Juga:
Fokus Garap Bisnis Hijau, Ini Pertimbangan Indika Energy (INDY) "Melihat potensi besar dari ekosistem EV di Indonesia, tidak heran jika emiten berlomba-lomba melakukan diversifikasi bisnis dan berkolaborasi," kata Ratih kepada Kontan.co.id, Selasa (15/11). Meski punya prospek mentereng, tapi Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata punya catatan. Dia mengingatkan, pengembangan EV di Indonesia pada kenyataannya masih memerlukan waktu. Terutama dari sisi kesiapan infrastruktur dan keekonomian harga, sehingga bisa diterima pasar. Mayoritas emiten sejauh ini juga belum berani fokus menggarap EV dan ekosistemnya. Melainkan masih sebagai diversifikasi dengan skala produksi yang mini. Baca Juga:
Perhelatan KTT G20 Jadi Momentum Motor Listrik Gesits Naik Kelas Rekomendasi Saham
Menimbang kondisi saat ini, Liza melihat saham emiten EV masih cocok untuk
trading jangka pendek. "Perhatikan laporan keuangannya. Apakah kekuatan perusahaan mampu menunjang keberlangsungan bisnis ini sampai mulai merekam laba?" saran Liza. Head of Research Jasa Utama Capital Sekuritas Cheryl Tanuwijaya menambahkan, dalam jangka pendek, saham emiten yang merambah EV memang cenderung volatile. Biasanya harga saham akan naik saat ada berita positif mengenai perkembangan EV. Emiten dengan produk hilir EV lebih rentan terpapar volatilitas harga akibat sentimen pasar. Terlebih, kontribusi penjualan EV terhadap pendapatan dibandingkan bisnis inti masih mini. "Untuk jangka panjang menjanjikan, karena pemerintah serius untuk mengembangkan EV. Bisnis di hulu memang lebih stabil, tapi dengan perkembangan teknologi yang pesat, bisnis hilir EV bisa berubah," terang Cheryl. Baca Juga:
Investasi Hilirisasi Mineral Menjadi Tumpuan Dari hulu penyedia bahan baku EV, Cheryl menyarankan koleksi saham ANTM dan INCO. Sedangkan untuk hilir, Cheryl merekomendasikan
buy saham INDY dan TOBA dengan target kenaikan jangka pendek 5%. Liza punya saham jagoan yang sama. Saham ANTM bisa dikoleksi dengan target harga Rp 2.250 hingga Rp 2.350. Sedangkan target harga INCO ada di Rp 8.000. Untuk INDY dan TOBA, Liza menyarankan
speculative buy. Target terdekat INDY di Rp 2.880 per saham-Rp 2.900 per saham dan support pada Rp 2.650. Sedangkan target harga TOBA ada di Rp 800 dengan
support Rp 640. Baca Juga:
Gandeng Huayou, Proyek Smelter Vale Indonesia (INCO) Rampung Dalam 3 Tahun Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Fajar Dwi Alfian turut menjagokan saham INDY. Dalam jangka pendek, saham INDY menarik dicermati lantaran sedang mengalami teknikal rebound.
Target harga saham INDY berada di area
resistance Rp 3.000, dan
resistance kedua di Rp 3.090. Pelaku pasar bisa mempertimbangkan
stoploss pada level
support Rp 2.670. Sementara itu, Ratih memberikan rekomendasi
buy on breakout pada saham BRPT jika menembus
resistance Rp 850-Rp 860. Target harga ada di level Rp 900. Pertimbangkan
cutloss pada Rp 780. Ratih juga menyematkan rekomendasi
buy pada saham INDY, ANTM, dan INCO. Target harga masing-masing ada di Rp 3.000, Rp 2.300, dan Rp 7.800. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati