Ada yang menarik dari debat capres putaran kedua untuk kita cermati. Kedua capres mengulas soal ketimpangan penguasaan lahan yang berdampak terhadap persoalan pembangunan di Indonesia. Mereka saling beradu argumen tentang masalah tersebut. Malahan, ada salah satu capres sempat menyindir lawan debatnya, yang juga menguasai lahan yang luas. Tak selesai di arena debat, soal penguasaan lahan itu pun menjadi trending topic di media sosial dan menjadi debat panas di media televisi. Publik yang selama ini tidak melek literasi tentang hak penguasaan lahan, mulai mencari-cari sumber informasi tentang hal tersebut, terutama tentang apa itu Hak Guna Usaha (HGU). Meskipun demikian, kita tidak mengharapkan, masalah lahan hanya menjadi isu sesaat, yang hilang ditelan isu populis lainnya, tanpa ada solusi penyelesaian. Karena penguasaan lahan merupakan masalah akut yang harus segera diselesaikan. Kalau tidak, masalah ketimpangan, kemiskinan, dan konflik tenurial atau lahan ini akan terus menyeruak dan mengancam pembangunan. Apalagi, dampak terbesarnya adalah terjebaknya kita ke dalam middle income trap, karena tidak meratanya distribusi faktor produksi.
Dalam sistem produksi, lahan merupakan salah satu input produksi penting. Terutama di Indonesia, yang basis pembangunan ekonomi masih di dominasi oleh sektor pertanian dan ekstraktif. Sehingga, penguasa lahan adalah penguasa faktor produksi dan sekaligus penguasa ekonomi. Faktanya demikian. Sepuluh orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes adalah penguasa lahan terluas di Indonesia. Sebagian besar bisnis mereka di sektor perkebunan sawit, pertambangan, kehutanan, dan properti. Mereka bisa menguasai lahan ratusan ribu hektare, bahkan jutaan hektare. Coba bandingkan dengan para petani gurem yang hanya menguasai 0,3 hektare saja. Tak ayal, ketimpangan pendapatan sangat akut di Indonesia. Berdasarkan penelitian Oxfam di 2017, empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan setara dengan 100 juta masyarakat termiskin di Indonesia. Indonesia masuk ke dalam enam besar negara yang paling tinggi ketimpangannya di dunia. Sebenarnya, banyak isu yang muncul dalam debat capres kedua, namun respon publik lebih mengarah ke isu lahan. Harus kita akui, respon itu muncul karena salah satu capres membuka data kepemilikan lahan capres yang lain. Rasa ketidakadilan menyeruak, karena selama ini masyarakat merasakan begitu sulitnya akses terhadap lahan, tak hanya di perkotaan namun juga di pedesaan. Apalagi, informasi kepemilikan lahan itu selalu ditutup-tutupi oleh penguasa. Redistribusi lahan Kita pun tersadarkan bahwa siapa yang terpilih nantinya jadi pemimpin di negeri ini, haruslah mampu menciptakan keadilan dalam penguasaan lahan agar akses faktor produksi bisa merata. Salah satu strategi untuk meningkatkan pemerataan akses masyarakat terhadap faktor produksi adalah melakukan redistribusi lahan, yang dikenal dengan program reforma agraria. Publik sudah disuguhi janji kedua capres untuk mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bagi capres yang terpilih untuk mengejawantahkan janji-janji tersebut ke dalam program kerjanya ke depan. Joko Widodo (Jokowi) mungkin tak begitu sulit melaksanakannya, karena selama menakhodai pemerintahannya, program reforma agraria sudah menjadi prioritas kerja. Pemerintahan Jokowi menargetkan 9 juta hektare lahan untuk program reforma agraria pada 2014-2019. Namun, target tersebut sulit untuk direalisasikan, terutama untuk redistribusi lahan. Pada akhirnya, program tersebut hanya menjadi bagi-bagi sertifikat semata. Program bagi-bagi sertifikat tentu sangat jauh dari esensi reforma agraria. Kita mengharapkan ketika terpilih nantinya redistribusi lahan harus menjadi target utama. Terutama lahan-lahan yang dikuasai oleh para taipan yang penguasaannya sangat luas, bahkan ada yang melebih Pulau Bali. Tekanan agak berat bagi Prabowo Subianto. Semangat Prabowo mengatasi masalah ketimpangan distribusi lahan harus diejawantahkan langsung secara riil untuk dirinya sendiri. Bagaimana dia harus mulai dengan melakukan redistribusi lahan yang sekarang dikuasainya, sebelum meredistribusi lahan milik taipan lainnya. Jika itu dijalankan, semestinya ketimpangan penguasaan lahan dan faktor produksi bisa ditekan. Meskipun demikian, itu baru tahap awal dalam agenda reforma agraria. Reforma agraria bukan sekadar mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan lahan semata. Cakupannya jauh lebih luas dari itu, yakni menyelesaikan konflik agraria, meningkatkan ketahanan pangan, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, memperbaiki akses masyarakat terhadap sumber ekonomi, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan pekerjaan, serta menciptakan sumber kemakmuran serta kesejahteraan bagi masyarakat. Selain melakukan redistribusi lahan, presiden terpilih perlu mengeluarkan kebijakan pembatasan penguasaan lahan oleh satu grup usaha dan individu, terutama di daerah perkotaan dan non pertanian. Begitu juga penguasaan lahan negara dalam bentuk HGU atau lainnya, juga harus diberikan limitasi luas lahan yang boleh dikuasai. Hal itu penting untuk mencegah terjadi ketimpangan penguasaan lahan. Pemerintahan baru juga harus mengatur kebijakan perpajakan agar tidak terjadi penguasaan lahan terlalu luas. Ada tiga skema kebijakan pajak lahan yang akan diinisiasi oleh pemerintah. Pertama, penerapan pajak progresif terhadap kepemilikan lahan. Skemanya, semakin luas kepemilikan lahan oleh badan usaha atau orang pribadi, semakin tinggi pajak yang dikenakan. Kedua, penerapan skema capital gain tax. Setiap transaksi lahan dikenakan pajak berdasarkan nilai tambah dari harga suatu lahan. Ketiga, unutilized asset tax. Yakni mengenakan pajak kepada badan usaha atau orang pribadi yang memiliki lahan secara luas tanpa memiliki perencanaan yang jelas (land bank). Skema ini sangat ideal diterapkan untuk daerah perkotaan dan non pertanian.
Pada akhirnya, sebagai faktor produksi, lahan seharusnya merata dikuasai oleh semua masyarakat. Meningkatkan akses terhadap lahan terutama bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan miskin harus menjadi agenda utama pemerintahan ke depan. Ketika pemerataan itu terjadi, upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif akan mudah dilakukan. Semua itu, butuh kepemimpinan yang kuat dan memiliki komitmen untuk menjalankan agenda reforma agraria.♦
Wiko Saputra Peneliti Kebijakan Ekonomi, Auriga Nusantara Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi