Lahan usaha perkebunan dan pertanian akan dibatasi



JAKARTA.Kalangan pengusaha pertanian dan perkebunan akan semakin sulit memperluas lahan bisnisnya. DPR mempersiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang pertanahan. Di RUU itu terdapat pembatasan kepemilikan luas lahan hak guna usaha (HGU) untuk setiap usaha perkebunan atau pertanian.

Saat ini Komisi II DPR menyelesaikan konsep RUU itu dan sudah menyerahkan kepada Presiden RI. RUU Pertanahan merupakan inisiatif dari DPR berdasarkan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Komisi II sudah mendapat Amanat Presiden (Ampres) untuk membahas RUU itu.

Anggota Komisi II DPR, Gamari Sutrisno, mengatakan, kehadiran RUU pertanahan untuk mengedepankan azas keadilan dalam pemanfaatan tanah milik negara. "Jangan sampai ada ketimpangan penguasaan tanah sehingga merugikan masyarakat," jelas Gamari, Selasa (25/6).


Untuk memenuhi azas keadilan, RUU akan membatasi pemberian HGU untuk kegiatan usaha pertanian, perkebunan, peternakan, pertambakan, dan budi daya perikanan atau rumput laut berdasarkan pada penggunaan tanah. Paling sedikit, pemberian HGU adalah lima hektare (ha).

Dalam satu provinsi, penguasaan lahan HGU untuk semua komoditas perkebunan maksimal 10.000 ha, sedang untuk pertanian atau tambak paling luas 50 ha. Kemudian, HGU untuk usaha skala besar atau nasional paling banyak 100.000 ha.

Menurut Gamari, teknis pemberian HGU di kawasan hutan akan diberikan oleh Kementerian Kehutanan (Kemhut) setelah adanya pelepasan kawasan hutan. Namun, dalam hal tanah berada di wilayah masyarakat adat, pemberian HGU harus memperoleh persetujuan tertulis dari Masyarakat Hukum Adat. Dengan pemberian HGU itu, nantinya pengusaha juga mendapat kewajiban membangun kebun rakyat atau plasma.

Hambat hilirisasi

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono, berpendapat, adanya pembatasan lahan HGU di RUU itu menandakan pemerintah dan DPR tidak memiliki konsep jangka panjang untuk mengembangkan sektor perkebunan. Alasannya, pembatasan lahan menyulitkan pembangunan industri hilir.

"Idealnya jika ingin membangun industri hilir, maka kepemilikan lahan perusahaan harus sebesar 200.000 ha," terang Joko.

Selain itu, RUU ini juga memperlihatkan keegoisan pemerintah. Soalnya, selama ini tidak ada koordinasi dengan pengusaha untuk rencana beleid itu. Pemerintah juga tidak pernah mengajak pengusaha sektor perkebunan untuk menerapkan berbagai kebijakan baru.

Padahal, Joko menilai, banyak kebijakan pemerintah yang menghambat pengusaha perkebunan. Misalnya, saja, terbitnya moratorium hutan, lalu revisi Permentan Nomor 26 Tahun 2007 tentang pembatasan lahan perkebunan.

Sebelumnya, Direktur Pengaturan dan Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah Badan Pertanahan Nasional (BPN), Noor Marzuki, mengatakan, pemerintah mendukung upaya DPR dalam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. "UU Pokok-Pokok Agraria memang belum mengatur perihal hak atas tanah," papar Noor.

Hanya saja, Noor mengaku pihaknya belum menerima draft RUU tentang Pertanahan atau Agraria. Namun, Ia memastikan, jika Ampres tentang pembahasan RUU Pertanahan telah terbit maka pihak BPN akan siap untuk berkoordinasi dengan Komisi II DPR.

Hal ini juga untuk mendukung pendataan kepemilikan tanah yang lebih baik kedepannya.Adanya revisi itu diyakini bisa meminimalisir sengketa lahan yang selama ini banyak terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Adi Wikanto