KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan usia yang masih terbilang muda di Indonesia, industri
fintech peer to peer (P2P)
lending nampaknya harus mulai berbenah. Isu kesehatan keuangan di industri ini mulai merebak dan harus menjadi perhatian pelaku industri, regulator hingga kalangan pemberi maupun penerima pinjaman. Masalah kepatuhan peminjam (
borrower) untuk mengembalikan pinjaman salah satunya. Meski secara industri ada perbaikan tingkat wanprestasi 90 hari (TWP90), namun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mengakui masalah TWP90 harus dibenahi. Wasit industri keuangan ini mencatat dari 102 pemain
fintech lending yang berizin OJK, ada 22 pemain yang memiliki TWP90 di atas 5%. Terhadap mereka, pengawasan pun dilakukan. Sementara pinjaman macet di industri
fintech lending tercatat mencapai Rp 1,49 triliun per September 2022 atau meningkat 9,55% secara bulanan.
“Ini menjadi perhatian daripada pengawas OJK untuk memperhatikan perusahaan tersebut,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Ogi Prastomiyono, Selasa (6/12) lalu.
Baca Juga: OJK Sebut Kinerja Sejumlah Fintech Lending Menurun, Begini Tanggapan Pelaku Usaha Meski demikian, Ogi melihat bahwa secara industri ada perbaikan TWP 90 di Oktober 2022 dengan berada pada level 2,9%. Padahal, bulan sebelumnya sempat mencapai 3,07%, termasuk tertinggi sepanjang 2022 ini. Di sisi lain, Ogi juga menyebut tak hanya mencermati adanya tren kenaikan risiko kredit. Pihaknya juga melihat ada penurunan kinerja di beberapa
fintech P2P lending. Seretnya pengembalian dana dari para peminjam ini bisa berbuntut mandeknya
return investasi yang telah ditanamkan pemberi pinjaman alias
lender. Isu ini juga telah menyeret salah satu pemain
fintech lending TaniFund. Belum lama ini, sekelompok
lender TaniFund mengungkapkan permasalahan dana sekitar Rp 14 miliar yang telah mereka tempatkan di
fintech tersebut. Kuasa hukum para
lender ini, Rekan Hardi Syahputra Purba mengatakan pada tahun 2019 TaniFund telah memberikan proposal penawaran kepada calon investor melalui web dan media elektronik lainnya. Dia bilang penawaran tersebut termasuk
return investasi yang besar, TKB90 yang sangat tinggi, dan proteksi investasi dilindungi oleh asuransi sebesar 80%. Namun dia bilang, sejak medio November 2021 hingga sekarang, para korban gagal bayar TaniFund sudah tidak menerima lagi pengembalian pokok modal dan hanya menerima pembagian hasil atau
return dari investasi yang dilakukan di TaniFund. "Manajemen TaniFund berdalih, kegagalan panen yang dialami oleh para petani disebabkan faktor alami (hujan dan hama) menjadi pemicu gagal bayar kepada para investor," ujar Herdi. Oleh karena itu, Herdi bilang gagal bayar tersebut membuat para investor merasa dirugikan karena belakangan manajemen TaniFund dianggap tidak profesional dan tidak menerapkan prinsip-prinsip GCG dalam mengelola portofolio para investornya. Di sisi lain, sebagian pemain
fintech lending pun diketahui masih belum bisa lepas dari kerugian. OJK mencatat masih ada 60,8% perusahaan yang rugi pada periode September 2022. “Namun, angka profitabilitas tersebut terus membaik dibanding akhir tahun lalu yang merugi mencapai 68,0% penyelenggara,” ujar Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bambang W Budiawan kepada KONTAN, belum lama ini. Bambang bilang pihaknya terus melakukan pemantauan terhadap tingkat profitabilitas para penyelenggara
fintech P2P lending dan menyadari perlu adanya perbaikan kesehatan keuangan.
Baca Juga: AFPI Ungkap Penyebab Penurunan Kinerja Fintech Lending Dalam rangka penilaian kesehatan, Bambang menyebut OJK saat ini sedang menyusun regulasi yang berkaitan dengan langkah perbaikan guna meningkatkan kinerja kesehatan
P2P lending. “Industri masih relatif muda dibandingkan dengan IKNB lainnya. Harus ada keseimbangan antara pengembangan dengan penguatan,” jelasnya. Adapun, salah satu yang menurutnya perlu ditingkatkan ialah terkait permodalan. Hal ini juga seiring dengan pemenuhan minimum ekuitas sesuai POJK 10/2022. “Industri
P2P lending, kami prediksi masih dapat bertumbuh walaupun pertumbuhannya cenderung melambat,” imbuhnya. PT Finansial Integrasi Teknologi (Pinjam Modal) menjadi salah satu pemain yang berupaya lepas dari kerugian. Pada tahun lalu perusahaan ini membukukan rugi Rp 4,7 miliar.
Chief Operating Officer Pinjam Modal Agus Gozali menjelaskan bahwa nilai kerugian tersebut semakin mengecil karena bisnis model semakin jelas untuk memberikan pendanaan kepada sektor produktif khususnya untuk pendanaan
inventory fast moving seperti
Fast Moving Consumer Goods (FMCG). Sementara itu,
Chief Executive Officer Akseleran Ivan Nikolas bilang bahwa platformnya telah keluar dari jerat kerugian di semester dua ini, namun ia enggan menyebut nominalnya. Sebagai informasi, pada 2021, Akseleran mencatat rugi bersih senilai Rp 9,4 miliar. Beban terbesar berasal dari gaji karyawan yang senilai Rp 28,2 miliar. “Tapi kami tidak melakukan efisiensi, karena kami dari awal memang hati-hati sekali,” ujarnya. Adapun, Ivan menyebut yang dilakukan pihaknya untuk meraup untung pada tahun ini ialah dengan memperbanyak
lender baik itu ritel maupun konstitusi. Harapannya,
cost of fund turun. “
Cost of fund bisa turun dan kami bisa mendapatkan
fee lebih besar,” pungkasnya.
Baca Juga: OJK Pelototi Fintech dengan NPL di Atas 5% Di tengah penurunan kinerja sejumlah pemain, Asosiasi Pendanaan Fintech bersama Indonesia (AFPI) membeberkan sejumlah hal yang menjadi biang keladi. Ketua Umum AFPI Adrian Gunadi menerangkan, pinjaman macet bisa terjadi karena sejumlah faktor, seperti kondisi global, pandemi yang memengaruhi kenaikan suku bunga, dan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdampak pada kondisi keuangan
borrower. "Tak sedikit
customer atau peminjam terdampak ekonomi, sehingga gagal bayar di cicilan selanjutnya," kata Adrian saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (8/12). Selain itu, penyebab penurunan kinerja
fintech antara lain proses restrukturisasi pinjaman tidak berjalan optimal karena membutuhkan persetujuan dari pihak
lender. Selanjutnya, optimalisasi penagihan tidak dapat dilakukan karena tidak ada jaminan. "Penyebab terakhir, data bad
customer di
fintech tidak terintegrasi dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), sehingga tidak ada efek jera apabila bad (buruk) di
fintech," ujar Adrian. Adrian menegaskan, AFPI sebagai asosiasi dari perusahaan
fintech lending berizin OJK menaruh perhatian serius terhadap fenomena kredit macet ini, karena berpotensi memberikan dampak terhadap tingkat kepercayaan para pendana
lender. Di lain sisi, Adrian bilang AFPI juga telah melakukan sejumlah antisipasi dan upaya guna menjaga kualitas kredit yang disalurkan oleh para anggotanya. Salah satunya dengan mengembangkan Fintech Data Center (FDC) yang mengintegrasikan data antara penyelenggara
fintech lending satu dengan lainnya. "FDC ini digunakan untuk menghindari
fraud, pinjaman berlebih di mana satu
borrower melakukan peminjaman di banyak penyelenggara
fintech lending, hingga mengetahui status kelancaran pinjaman," kata Adrian saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (8/12).
Upaya itu, kata Adrian, membantu platform
fintech lending untuk melakukan pertimbangan ulang dalam menyetujui permohonan pinjaman dari peminjam yang memiliki catatan pembayaran yang tidak baik. Dengan proses
electronic know your customer (e-KYC) diharapkan bisa mengurangi tingkat
fraud atau penipuan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, bisa memperkecil potensi terjadinya kredit macet atau TWP90. Selain itu, hal lain yang sedang AFPI lakukan adalah mempersiapkan algoritma kecerdasan buatan atau
artificial intelligence (AI). AI dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas penilaian kredit atau
credit scoring dan berguna mengukur risiko kredit dari calon peminjam yang sebelumnya tidak memiliki riwayat pinjaman kredit. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi