Lampu kuning kondisi keuangan Pertamina



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ribuan pekerja PT Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina (FAPPB) berunjuk rasa di depan Gedung Kementerian BUMN, kemarin.

Aksi para pekerja Pertamina yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dipicu kebijakan Menteri Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Beredar surat Menteri BUMN yang berisi tentang imbauan kepada Pertamina untuk menjual beberapa aset perusahaan migas pelat merah tersebut.

Dalam surat tertanggal 29 Juni 2018, Rini menyetujui aksi korporasi untuk mempertahankan kondisi kesehatan keuangan Pertamina. Sontak, FAPPB menolak penjualan aset maupun pelepasan kilang dapat menyebabkan fundamental Pertamina lemah. Apalagi penjualan aset hanya untuk menutupi kerugian sebagai buntut dari kebijakan pemerintah.


Sebut saja, kebijakan BBM satu harga yang menyebabkan Pertamina merugi US$ 957 juta atau sekitar Rp 12,72 triliun (kurs Rp 13.300 per dollar AS) selama semester I-2017. Maklumlah, seluruh konsekuensi biaya BBM satu harga, mulai dari transportasi hingga margin fee penyaluran bagi penyalur di lokasi sepenuhnya ditanggung oleh Pertamina tanpa dibantu APBN.

Celakanya, harga minyak mentah dunia terus merangkak naik. Tak pelak, beban Pertamina semakin berat ketika nilai tukar rupiah merosot terhadap dolllar AS. Sehingga, kewajiban bayar utang meningkat plus nilai impor minyak melonjak. Di sisi lain, nilai investasi proyek refinery development master plan (RDMP) semakin tidak menguntungkan.

Akhirnya, Pertamina memutuskan menurunkan dana investasi tahun ini hingga 20%, yang semula US$ 5,6 miliar menjadi US$ 4,5 miliar. Cacatan kinerja Pertamina juga memperlihatkan penurunan. Laba bersih tahun lalu menyusut 19% year-on-year (yoy) menjadi US$ 2,54 miliar.

Dari gambaran di atas, wajar jika banyak kalangan menyimpulkan kondisi keuangan Pertamina sedang keteteran. Kepala Studi Energi Universitas Indonesia Iwa Garniwa menilai, ada dua alasan yang mendasari perusahaan melakukan penjualan aset, yakni kondisi keuangan tidak sehat atau aset tersebut telah dianggap tidak bernilai oleh perusahaan. "Yang berkembang saat ini mengindikasikan kondisi keuangan Pertamina tengah krisis," ungkap dia.

Iwa menambahkan, Pertamina dituntut menyediakan migas untuk masyarakat dengan harga yang diatur pemerintah. Sedangkan harga minyak dunia melonjak dan rupiah tidak stabil. "Mungkin memang ini langkah terbaik (lepas aset) jika kondisi keuangannya sedemikian parah," terang dia.

Namun Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati menegaskan tidak ada aksi jual aset perusahaan kepada pihak swasta. "Jadi sebetulnya itu bukan pelepasan aset. Namanya pemberian participating interest (PI). Beda lo antara aset dan PI," kilah dia, kemarin (20/7).

Nicke mengklaim, pemegang PI merupakan pihak yang berhak atas hasil produksi. "Misalnya, ada pihak yang memegang PI 10% artinya dia nanti berhak 10% atas hasil produksi. Sedangkan saham dan asetnya tidak dijual," terang dia.

Mengenai kondisi keuangan Pertamina yang dinilai mengkhawatirkan, Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito juga menampiknya. "Enggak (parah kondisi keuangan Pertamina). Surat itu adalah izin melakukan kajian, mekanismenya dari direksi melalui komisaris kepada pemegang saham," ujar dia.

Adiatma berujar, jika sejumlah aksi korporasi yang tertulis dalam surat yang beredar itu bukan merupakan indikasi Pertamina membutuhkan dana besar. "Oh, bukan-bukan," tukas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie