KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja industri manufaktur Indonesia tampaknya semakin menunjukkan keprihatinan, akibat pelemahan daya beli masyarakat yang semakin terasa dampaknya di sektor tersebut. S&P Global mencatat bahwa Purchasing Managers` Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di level 50,7, anjlok 1,4 poin dibandingkan capaian Mei 2024 yang berada di level 52,1. Sementara itu, data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa setoran pajak dari industri pengolahan mengalami kontraksi baik secara neto sebesar 14,2% maupun bruto sebesar 3,2% hingga akhir Mei 2024. Padahal, sektor tersebut menjadi kontributor terbesar penerimaan pajak pada periode tersebut.
Kondisi ini membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani mewanti-wanti kinerja industri pengolahan baik dari sisi aktivitas maupun setoran pajaknya. "Ini tentu sesuatu yang harus kita waspadai dari sisi kegiatan industrinya sendiri maupun kontribusi terhadap penerimaan pajak kita," kata Menkeu belum lama ini. Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas), Fajar Budiono, mengatakan bahwa penurunan indeks manufaktur masih akan berlanjut hingga akhir tahun ini. Menurutnya, penurunan ini disebabkan oleh daya beli masyarakat yang masih lesu.
Baca Juga: PMI Manufaktur Juni 2024 Anjlok ke Level 50,7 "Daya belinya lagi
drop,
demand-nya juga lagi lesu sehingga mau tidak mau
supply-nya juga pasti diturunkan karena gak ada yang beli," ujar Fajar kepada Kontan.co.id, Senin (1/7). Kondisi tersebut, kata Fajar, memunculkan fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menghantui sektor tersebut, khususnya industri tekstil. "Ini kalau pemerintah tidak cepat melakukan tindakan-tindakan pengamanan lagi maka akan semakin terpuruk lagi," keluhnya. Fajar menilai bahwa sebetulnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 sudah tepat dilakukan. Namun, pada saat implementasinya banyak intervensi dari berbagai pihak sehingga pemerintah menjadi blunder dalam penerapannya. Oleh karena itu, Fajar menduga kinerja manufaktur Indonesia akan semakin terpuruk apabila pemerintah tidak segera mengambil tindakan yang tepat untuk industri manufaktur. Selain industri tekstil, Fajar melihat industri makanan-minuman (mamin) juga agak sulit untuk bangkit kembali. Bahkan, pada saat momen natal dan tahun baru (naturu) tidak akan mampu mengerek industri mamin secara signifikan. "Untuk bangkit akan susah. Ditambah lagi bulan-bulan ini akan turun karena orang fokus ke (pengeluaran) sekolah dulu dan ini tahun ajaran baru," jelasnya. Fajar memperkirakan kinerja industri tekstil akan semakin terpuruk pada Agustus 2024 jika tidak segera dilakukan tindakan oleh pemerintah. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah bisa mengatasi banjirnya produk impor dari China dengan menerapkan regulasi yang jelas, seperti pemberlakuan kembali Permendag 36/2023. "Itu banyak barang-barang menumpuk di pelabuhan karena regulasi yang gak jelas. Ini kan sinergi antara kementerian lagi kurang bagus juga," terang Fajar. Ia khawatir bahwa kinerja manufaktur yang semakin terpuruk akan berdampak pada pelemahan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024. Sementara itu, Chief Economist Bank Syariah Indonesia (BSI), Banjaran Surya Indrastomo, memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2024 berada pada kisaran 4,98%
year on year (YoY). Angka ini lebih rendah dibandingkan kuartal I-2024 yang tumbuh 5,11% YoY. "Untuk Indonesia, sektor manufaktur mulai membaca perlambatan
demand ditambah dengan tekanan biaya produksi akibat
imported inflation," ujarnya.
Baca Juga: Kemenperin Khawatir Regulasi Tak Pro Bisnis akan Berdampak ke Kinerja PMI Manufaktur Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengatakan bahwa berdasarkan tiga komponen pembentuk Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), terlihat adanya perlambatan di komponen produksi yang tercatat kontraksi. Sementara, komponen persediaan dan pesanan baru masih tercatat naik. Pelemahan Rupiah menyebabkan kenaikan biaya produksi sehingga perusahaan memutuskan untuk mengurangi level produksinya pada Juni 2024. Josua menjelaskan bahwa tiga komponen pembentuk PMI Manufaktur, yaitu
output, new orders, dan
input purchases, mengalami pertumbuhan. Namun, pertumbuhan tersebut merupakan yang terlemah dalam satu tahun terakhir. "
New orders, terutama dari ekspor terus turun selama empat bulan. Pembelian barang input juga merupakan yang paling lemah sejak November 2022. Jadi indikasi kalau produksi mulai melambat," kata Josua.
Berdasarkan data-data tersebut, industri manufaktur masih ekspansi pada Juni 2024, namun ada indikasi perlambatan produksi dari bulan sebelumnya. "Kalau dilihat dari subsektornya (dari rilis IKI), subsektor yang kontraksi itu industri tekstil," imbuhnya. Ekonom Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengakui bahwa akan terjadi pelemahan ekonomi Indonesia pada kuartal II dan berpotensi berlanjut pada kuartal III dan IV. Ini tidak terlepas dari banyaknya PHK yang terjadi pada sektor manufaktur, khususnya industri tekstil. "Kuartal II ada momen lebaran dan kenaikan kelas (sekolah), harusnya bisa sedikit membantu. Tapi mengingat PHK cukup tinggi pada kuartal II, saya rasa cukup berat," kata Huda. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .