KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polusi udara terus menghantui Jabodetabek dalam beberapa waktu terakhir. Aktivitas industri manufaktur di sekitar Jakarta disebut-sebut turut menjadi penyebab polusi di ibu kota. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta W. Kandami mengaku, dalam beberapa tahun terakhir udara di Jakarta memang tak aman bagi kesehatan masyarakat. Pencemaran udara di Jakarta sudah melebihi batas toleransi yang ditetapkan (PM2.5) dan hal itu telah terjadi selama kurun waktu 2019-2023. Apindo turut mengutip data dari berbagai sumber terkait asal-muasal datangnya polusi di Jakarta. Dari situ, transportasi menjadi sumber polusi tertinggi dengan level mencapai 44%. Setelah itu, terdapat manufaktur energi yang berkontribusi 31% terhadap polusi Jakarta, kemudian perumahan 14%, industri manufaktur 10%, dan sektor komersial 1%.
Lantas, Apindo tak menampik adanya kontribusi industri manufaktur terhadap polusi yang melekat di langit Jabodetabek. Pada dasarnya, para pelaku industri manufaktur sudah didorong untuk menerapkan prinsip ekonomi berbasis industri hijau melalui efisiensi sumber daya alam (SDA), ekonomi sirkular, dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) seperti
solar, biofuel, biomass, dan lain-lain.
Baca Juga: BKPM Catat Foreign Direct Investment (FDI) ASEAN pada 2022 Meningkat 5% Sebagai contoh, pelaku industri dapat memanfaatkan biomassa untuk mengoperasikan mesin ketelitian uap atau
boiler. "Transisi energi dari berbasis fosil menjadi terbarukan akan mendorong pabrik dan logistik yang lebih ramah lingkungan," ungkap Shinta, Selasa (15/8). Dia pun mengklaim bahwa beberapa perusahaan manufaktur sudah ada yang telah mengganti mesin lamanya dengan mesin baru yang lebih ramah lingkungan. Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Industri Kadin Indonesia Johnny Darmawan juga mengaku, polusi udara di Jabodetabek berasal dari kombinasi antara kendaraan bermotor, emisi PLTU, hingga aktivitas industri manufaktur dekat perbatasan Jakarta. Meski tidak disebut secara rinci, ia bilang bahwa beberapa pabrik yang berada di Bekasi, Jababeka, Cikarang, Karawang, dan kota-kota dekat Jakarta lainnya masih banyak yang menggunakan genset untuk mengoperasikan mesin-mesin pabriknya. "Ketika pakai genset, otomatis itu energi fosil yang bisa berkontribusi terhadap polusi," ungkap dia, Selasa (15/8). Memang, transisi penggunaan energi terbarukan sudah mulai digalakan dalam beberapa tahun terakhir, termasuk untuk area pabrik. Namun, upaya tersebut masih dalam skala yang kecil. Dalam hal ini, kontribusi energi terbarukan terhadap aktivitas operasional pabrik masih tergolong rendah. Lagi pula, bukan perkara mudah bagi tiap pelaku industri manufaktur untuk benar-benar beralih dari energi fosil ke energi terbarukan dalam rangka menekan polusi. Dibutuhkan investasi bernilai besar dan waktu yang tidak sebentar untuk menyediakan infrastruktur pabrik yang ramah lingkungan. "Tidak gampang memodifikasi pabrik agar sepenuhnya
green," kata Johnny.
Baca Juga: PGN Bakal Kerek Harga Gas Non-HGBT Mulai Oktober 2023, Ini Kata Apindo Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengklaim, seluruh produsen keramik nasional sudah menggunakan
liquefied natural gas (LNG) dalam proses produksi keramik, termasuk produsen keramik yang pabriknya berdekatan dengan perbatasan Jakarta.
Penggunaan LNG jelas lebih ramah lingkungan ketimbang batubara atau minyak mentah, sehingga risiko polusi di sekitar pabrik keramik bisa ditekan. "Biaya pemakaian LNG menjadi komponen biaya terbesar atau setara hampir 30% dari total biaya produksi keramik," tandas Edy, Selasa (15/8). Tidak hanya itu, beberapa pabrik keramik bahkan sudah ada yang menggunakan PLTS Atap untuk kegiatan produksinya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi