Laporan keuangan bermasalah, ini rekomendasi analis untuk investor Garuda Indonesia



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dalam laporan keuangannya menyatakan perusahaan meraih laba sebesar US$ 809,85 ribu atau sekitar Rp 11,33 miliar. Namun begitu, laporan keuangan GIAA tersebut menuai polemik. Dua direktur GIAA disebut menolak menandatangani laporan keuangan tersebut.

Hal itu lantaran piutang GIAA dari PT Mahata Aero Teknologi dimasukkan ke dalam pos pendapatan dalam laporan keuangan tersebut. Pencatatan tersebut membuat pos pendapatan usaha lainnya penerbangan plat merah itu mencapai US$ 306,88 juta.

Kontrak kerja sama Garuda dengan Mahata mencapai US$ 239,94 juta atau sekitar Rp 2,98 triliun. Mahata saat ini baru membayar US$ 6,8 juta. Sedangkan sisa duit yang belum ditransaksikan yakni sebesar US$ 233,13 juta.


Analis Oso Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan bila hal tersebut benar adanya, maka hal itu bisa mempengaruhi cashflow perusahaan dan perhitungan valuasi akan berbeda. "Laba bersih dan rasio profitability bisa turun, sehingga bisa mempengaruhi valuasi harga saham," kata Sukarno ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (25/4).

Jika berlarut-larut, Sukarno bilang hal tersebut bisa memunculkan persepsi negatif bagi CGC perusahaan. "Akan jadi tambahan faktor negatif, pasar akan berkurang minatnya ke saham GIAA," tukas Sukarno.

Hal ini tentu menjadi kerugian baik bagi emiten maupun investor. Apalagi pergerakan harga GIAA sendiri sudah kembali menunjukkan tren penurunan, bahkan sebelum kabar mengenai laporan keuangan tersebut beredar. 

Meski begitu, Sukarno mengatakan apa yang sedang menimpa GIAA merupakan sentimen jangka pendek saja. Ia memroyeksikan setelah permasalahannya selesai, pergerakan saham perusahaan bisa kembali positif.

Sedangkan Direktur Avere Investama Teguh Hidayat mengatakan bahwa tanpa masuknya piutang tersebut ke dalam pos pendapatan, kinerja GIAA pun cukup mengkhawatirkan. Menurutnya sebagai salah satu maskapai besar milik pemerintah, wajar bila pendapatan GIAA tidak hanya didapat dari operasional maskapai saja. 

“Namun kalau sampai piutang non-operasional atau di luar bisnis inti itu dimasukkan ke pos pendapatan terlebih dahulu, untuk lalu bisa terlihat meraup laba, maka ada yang salah dengan manajemen perusahaan,” tukasnya.

Teguh menambahkan meski meraih laba, namun para investor juga mesti melihat berapa besar laba tersebut. Apalagi bila dibandingkan dengan pendapatan perusahaan.  Sebelumnya, pada tahun 2018 lalu GIAA meraup pendapatan sebesar US$ 4,37 juta. Bila dibandingkan dengan laba bersih yang sebesar US$ 809.000, Teguh menilai hal tersebut tidaklah sebanding. 

“Itu berarti menunjukkan lebih besar pasak daripada tiang. Kita lihat saja, bisa jadi kinerjanya akan kembali mengalami kerugian karena labanya sangat tipis,” kata Teguh kepada Kontan.co.id, Kamis (25/4).

Sedangkan bagi analis Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih, pencatatan tersebut mungkin dilakukan untuk menunjang pemasukan dividen bagi pemerintah. “Mungkin pemerintah sedang sangat membutuhkannya,” duga Alfatih. Ia juga menambahkan bila hal tersebut sudah diaudit maka mungkin standar akuntansi perusahaan memperbolehkan hal tersebut.

Meski begitu jika piutang yang diakui sebagai pemasukan sebesar lebih dari US$ 200 juta, sedang laba bersih yang tercatat ‘hanya’ sebesar US$ 800.000, maka besar kemungkinan tanpa piutang itu GIAA masih merugi. “Maka investor harus berhati-hati dalam memutuskan investasi di emiten ini,” jelasnya kepada Kontan.co.id, (25/4).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .