KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Eterindo Wahanatama Tbk (ETWA) pada Rabu (2/5) menggelar paparan publik kinerja tahun buku 2016. Kinerja 2016 baru dilaporkan, lantaran selama ini kondisi perusahaan perkebunan kelapa sawit, biodiesel dan perdagangan produk-produk kimia ini, berada dalam fase penurunan. Pemicunya, terjadi masalah sosial di area perkebunan milik perusahaan. Akibat lama tidak melaporkan laporan keuangan, Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan suspensi terhadap perdagangan efek ETWA. Suspensi saham baru bisa dicabut jika perusahaan telah melaporkan kinerja keuangan setidaknya hingga September 2017. Saat ini, ETWA sudah mengirimkan laporan keuangan kuartal pertama dan kedua tahun 2017 pada 20 Maret lalu. Sementara, untuk laporan keuangan September 2017 akan segera dilaporkan ke bursa dalam dua hari mendatang.
“Mudah-mudahan bulan depan suspensi terhadap saham ETWA segera dicabut dan saham kami bisa kembali diperdagangkan,” ungkap Azwar Alinuddin, Direktur ETWA, Rabu. Kebutuhan dana untuk perkebunan kelapa sawit yang menjadi pokok utama perhatian perusahaan yaitu mencapai Rp 260 miliar. Dana sebesar ini akan digunakan untuk merehabilitasi kebun yang sudah ada, dan menambah tanaman baru sebanyak 5.000 hektare selama dua hingga tiga tahun ke depan. Setelah melakukan rehabilitasi, tahun 2019, perusahaan berharap sudah bisa mendirikan pabrik kelapa sawit. Menurut Azwar, untuk melakukan serangkaian aksi korporasi ini, ETWA tengah menjajaki kerja sama dengan beberapa mitra. Katanya, sudah ada beberapa perusahaan yang berminat dan dalam waktu dekat diharapkan ada satu perusahaan yang bisa merapat. “Semoga ada satu perusahaan yang terbaik bagi kami yang merapat, agar kelangsungan hidup perusahaan ini akan lebih baik lagi,” tuturnya. Kinerja lesu Berdasarkan pemaparan manajemen ETWA, tahun 2016, kinerja perusahaan memang lesu. Tercatat kinerja seluruh produk menurun. Penjualan produk biodiesel sebesar Rp 230,29 miliar, turun 18,5% dibandingkan tahun 2015. Sementara, penjualan tandan buah segar (TBS) sejumlah Rp 3,56 miliar, turun 47,65% dibandingkan periode 2015. Penurunan paling drastis terjadi pada produk-produk kimia. Pada 2016, penjualan produk ini hanya Rp 9,15 miliar, turun tajam 91,52% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 107,99 miliar. Posisi keuangan perusahaan juga menyusut. Total aset turun sebesar 13% dari sebelumnya Rp 1,33 triliun menjadi Rp 1,15 triliun pada 2016. Ekuitas perusahaan juga tergerus 91% menjadi Rp 7,1 miliar. Meski demikian, perusahaan berhasil memperlambat laju kerugian. Tahun 2016, perusahaan mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 68,6 miliar, turun dibandingkan posisi tahun 2015 dengan rugi bersih Rp 219,9 miliar. Menurut Azwar, penurunan kerugian karena perusahaan berhasil melakukan efisiensi. Kinerja perusahaan di semester I-2017 juga belum menggembirakan. Penjualan produk biodiesel hanya Rp 1,44 miliar, sementara di periode yang sama tahun 2016 mencapai Rp 213,14 miliar. Artinya, penjualan biodiesel perusahaan turun 99,32%. Namun, perusahaan masih bisa mencatatkan kenaikan penjualan produk kimia dan TBS masing-masing 121,67% dan 1.295% menjadi sebesar Rp 17,37 miliar dan Rp 4,88 miliar. Meski peningkatan penjualan produk kimia dan TBS tergolong fantastis, tetap saja total penjualan ETWA turun. Pada semester I-2017, total penjualan ETWA tercatat Rp 23,7 miliar, turun 90,2%
year on year (yoy). Dalam jangka panjang, perusahaan mematok target produksi sawit sebesar 28.000 ton. Namun Azwar mengungkapkan, semuanya akan tergantung dari upaya rehabilitasi perkebunan yang dilakukan tahun ini. Jika rehabilitasi berhasil maka perusahaan yakin target 28.000 bisa terpenuhi.
Terkait masalah sosial di perkebunan ETWA, Azwar mengungkapkan ada sangkut pautnya dengan maraknya pencurian sawit di kebun perusahaan oleh penduduk di sekitar perkebunan. Azwar menambahkan, pihaknya mengerti betul penyebab terjadinya aksi pencurian yang kian marak terjadi. Sebab, para penduduk yang sebelumnya banyak berharap dari perusahaan. Sementara, aktivitas perusahaan tidak sedahsyat yang dipikirkan masyarakat. “Masyarakat yang tadinya berharap sumber penghidupan dari perusahaan, ternyata laju perusahaan sedang
stuck, sehingga tidak ada pendapatan lain-lain, jadi yang di depan mata diambil,” paparnya. Menurutnya, masalah pencurian oleh masyarakat ini tergolong masalah yang sensitif sehingga penanganannya pun tidak mudah. Manajemen, ungkap Azwar, melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah, kepolisian hingga ke dewan adat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini