Larang jual rokok di terminal, Dishub langgar HAM



JAKARTA. Dinas Perhubungan DKI Jakarta melarang berjualan rokok di terminal. Aturan ini dinilai sangat diskriminatif, karena larangan ini tidak berlaku di gerai-gerai retail yang beroperasi di pusat perbelanjaan atau mal.

Ketua Umum Pengurus Pusat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Sektor Rokok Tembakau dan Makanan, Bonhar Darma Putra, juga mempertanyakan aturan pelarangan berjualan rokok di terminal yang belakangan digencarkan oleh Dishub DKI Jakarta.

Menurut Bonhar, larangan berjualan rokok tak jelas landasan hukumnya. Karena rokok bukanlah barang illegal yang dilarang diperdagangkan.


Bukan hanya itu, pemerintah memang melarang merokok di tempat umum, termasuk terminal bus. Namun yang perlu juga diperhatikan oleh Dishub DKI adalah keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 57/PUU-IX/2011. Keputusan itu menegaskan, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya wajib menyediakan tempat merokok.

"Dilarang berjualan konteksnya apa, tidak ada urgensinya. Seakan merokok itu mengganggu ketertiban. Saya sebagai ketua akan mendatangi Dishub DKI. Rokok itu kan barang legal bukan ilegal, hak orang merokok juga bagian kebebasan yang bisa dipertanggungjawabkan. Akan lebih baik Dishub mengurusi asap knalpot yang notabene bahayanya lebih parah dari rokok," tegasnya.

Ia mengingatkan, aturan lama soal Kawasan Tanpa Rokok juga sering bermasalah. Satpol PP seringkali seenaknya menangkap seseorang manakala merokok di terminal. Padahal bisa jadi dia tidak tahu aturan itu dan pemerintah tidak melakukan sosialisasi.

"Kalau yang nangkap satpol PP kena tindak pidana ringan padahal bisa saja orang yang masuk terminal tidak tahu, ini kan tidak adil juga," tegasnya.

Ditemui terpisah, Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSPRTM), Mukhyir Hasan Hasibuan, sepakat dengan Bonhar. Menurut dia, larangan berjualan rokok di terminal itu memberangus hak asasi manusia.

Pasalnya, dalam aturan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 hanya mengatur larangan merokok di tempat umum, tak ada satu pasal pun yang melarang berjualan rokok. Apalagi selama ini kontribusi rokok terhadap pendapatan pemerintah mulai dari cukai hingga pajak pertambahan nilai (PPN) mencapai ratusan triliun rupiah.

"Kebijakan seperti itu melebihi aturan yang sudah ada. Pemda harus melihat utuh jangan hanya memandang satu sisi saja, dengan semata alasan kesehatan," tegas Mukhyir.

Ia mengingatkan, dengan produk rokok, pendapatan pemerintah terbukti kian gemuk. Tahun ini saja dari cukai rokok mencapai Rp 125 triliun belum termasuk PPN dan segala macam pungutan lain. Belum lagi, pabrik rokok merupakan industri padat karya yang mestinya dilindungi pemerintah karena ada ratusan ribu pekerja.

"Harusnya dilindungi pemerintah bukan diobok-obok seperti sekarang ini. Terkesan pemerintah mementingkan aspek kesehatan saja. Padahal di luar negeri seperti Amerika Serikat dan negara lain saja tidak ada kebijakan yang sangat ekstrim sampai melarang berjualan rokok," tegasnya.

Ia curiga, dengan berbagai kebijakan yang merugikan industri rokok, ada kesan kepentingan pihak tertentu, seperti industri farmasi, yang ingin membuat industri rokok dalam negeri gulung tikar. "Ini semata pertarungan dagang," tuturnya.

Ia menyebutkan, akibat berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro pada industri, sudah lebih dari 20 ribu pekerja harus terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). "PHK ini akan terus terjadi jika pemerintah tak mau melindungi pekerja," tegasnya.

Kata dia, selama ini kalangan pekerja yang tergabung dalam FSPRTM, selalu mengedepankan dialog dalam mengkritisi kebijakan karena jika berdemontrasi sama-sama merugikan baik pekerja dan pemerintah hingga pengusaha. Namun jika kebijakan pemerintah terus merugikan, bukan tidak mungkin akan dilakukan aksi protes unjuk rasa. "Kalau terpaksa, kami juga bisa melakukan aksi protes," katanya. (Sanusi)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan