KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah menutup keran ekspor produk olahan nikel 30%-40% demi keamanan cadangan dan peningkatan nilai tambah berpotensi menghambat investasi smelter yang kini tengah berlangsung. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan, hingga 2025 ditargetkan bakal ada 98 pabrik pengolahan yang ditargetkan berdiri di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 31 yang beroperasi sementara lainnya dalam tahapan konstruksi dan perizinan.
Dengan rencana pemerintah menerapkan larangan ekspor produk olahan nikel 30% hingga 40% maka dikhawatirkan bakal membuat minat investasi ini terganggu. Meidy mengungkapkan pihaknya telah mendapat banyak pertanyaan dari pelaku usaha di negara luar yang menanyakan terkait rencana pemerintah ini.
Baca Juga: Rencana larangan ekspor produk olahan nikel perlu dikaji secara matang Selain kondisi investasi, kesiapan industri hilir untuk menyerap produk olahan kadar rendah pun juga jadi sorotan APNI. Jika kemudian ekspor dihentikan, maka ada kekhawatiran industri dalam negeri belum siap menyerap produksi yang ada. Menanggapi situasi ini, APNI meminta pemerintah memberlakukan kebijakan yang bertahap. Sebagai langkah awal, pengenaan pajak dinilai dapat dilakukan. "Langkah awalnya dibebankan pajak dulu kali ya sehingga mereka masih bisa lebih ringan untuk berinvestasi," terang Meidy dalam siaran IDX Channel Live, Kamis (23/9). Meidy menambahkan, dengan pengenaan pajak maka ada potensi penambahan penerimaan negara yang bisa diterima. Nantinya, seiring berjalannya waktu dalam 3 tahun hingga 5 tahun mendatang barulah kebijakan larangan ekspor dapat diambil pemerintah khususnya jika pasar dalam negeri sudah siap. Disisi lain, APNI pun menilai pemerintah perlu memastikan jalannya tata niaga nikel secara baik khususnya dari sisi hulu. Dengan praktik yang lebih baik disisi hulu maka industri hilir pun dinilai bakal lebih terjamin untuk kepastian bahan baku. "Kerikil di hulu masih banyak, hulu dulu dirapikan sehingga mendukung industri hilir," kata Meidy. Sementara itu, Chief Financial Officer (CFO) PT Vale Indonesia Tbk (INCO) Bernardus Irmanto memastikan produk olahan nikel Vale adalah nickel matte dengan kandungan nikel 78% atau di atas batas kandungan 70%. "Kemungkinan wacana pelarangan ekspor tersebut adalah untuk mendorong tumbuhnya hilirisasi produk nickel di Indonesia, terutama untuk produk NPI/Fe Ni dengan kandungan nikel di bawah 40%," terang Bernardus kepada Kontan, Selasa (21/9).
Adapun, SVP Corporate Secretary PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) Yulan Kustiyan mengungkapkan saat ini produk olahan nikel ANTM berupa feronikel. Produk ini diserap pasar internasional. Pihaknya pun memastikan saat ini belum menerima informasi resmi terkait rencana larangan ekspor, kendati demikian ANTM siap mendukung kebijakan pemerintah. "Pada prinsipnya ANTAM senantiasa mendukung kebijakan pemerintah, sejalan dengan komitmen perusahaan dalam melaksanakan hilirisasi mineral," kata Yulan kepada Kontan, Selasa (21/9).
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat