Laut China Selatan memanas, kapal perang AS diusir militer China



KONTAN.CO.ID - LAUT CHINA SELATAN. China mengklaim militernya telah mengusir kapal perang perusak Angkatan Laut AS setelah "masuk tanpa izin" ke perairan teritorial China di dekat Kepulauan Spratly pada Selasa (22/12/2020). Ini merupakan eskalasi terbaru ketegangan antara Washington dan Beijing di Laut China Selatan.

The Telegraph memberitakan, pernyataan Kolonel Senior Tian Junli, juru bicara Komando Selatan Pembebasan Rakyat, datang tak lama setelah Angkatan Laut AS mengumumkan USS John S McCain telah menegaskan hak dan kebebasan navigasi di laut yang disengketakan di dekat pulau, sesuai dengan hukum internasional.

Insiden itu terjadi ketika Shandong, kapal induk kedua China, dilaporkan melakukan latihan di wilayah tersebut setelah berlayar melalui Selat Taiwan yang sensitif pada hari Minggu.


Pemerintah China mengklaim kedaulatan atas sebagian besar Laut China Selatan, secara langsung mempermasalahkan klaim teritorial terumbu, pulau, dan perairan oleh tetangga regionalnya yang lebih kecil. Filipina, Malaysia, Vietnam, Brunei, dan Taiwan semuanya telah mengklaim Spratly.

Baca Juga: Waspada terhadap Iran, AS mulai kirimkan kapal selam ke Selat Hormuz

Tahun ini, Beijing telah menunjukkan ketegasannya atas perairan yang kaya energi, mendorong AS untuk mengecam "perilaku penindasan" di sana dan meningkatkan operasi navigasi kebebasan.

Pada Juli, Mike Pompeo, Menteri Luar Negeri AS, menyatakan bahwa Washington akan menganggap pengejaran sumber daya oleh Beijing di Laut China Selatan sebagai hal yang ilegal. Para ahli mengatakan, peningkatan kehadiran militer dari kedua belah pihak telah meningkatkan risiko bentrokan, baik disengaja atau tidak disengaja.

Pada hari Sabtu, Angkatan Laut AS telah mengirim kapal perang melalui Selat Taiwan, dengan kapal perusak berpeluru kendali USS Mustin melakukan transit ke-13 melalui jalur perairan selebar 110 yang memisahkan China dari Taiwan.

Baca Juga: Kelompok kapal induk tempur China menuju ke Laut Cina Selatan, apa yang terjadi?

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie