KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebanyak 44 juta anak bayi lahir di Indonesia setiap tahunnya. Capaian ini setara dengan populasi manusia di Singapura. Puluhan juta bayi yang lahir ini membutuhkan setidaknya 79,2 miliar popok dalam setahun. Perhitungan ini berdasarkan rata-rata kebutuhan popok menurut Advokasi Program Ecoton, Aziz di mana seorang bayi membutuhkan empat sampai lima popok dalam sehari. Lantas jika dihitung dalam sebulan, seorang bayi menggunakan 150 popok dan setahun bisa mencapai 1.800 popok. Jumlah kelahiran dan kebutuhan popok lantas menjadi peluang yang manis bagi para pelaku bisnis popok tanah air, sebut saja produsen popok PT Uni-Charm Indonesia Tbk (UCID).
Dalam tiga tahun terakhir pendapatan produsen MamyPoko ini terus tumbuh bahkan pada 2022 tembus Rp 10 triliun yang didominasi 80% dari produk diapers. Adapun di tahun lalu, Uni-Charm mampu merengkuh pangsa pasar diaper 43,2% secara nasional.
Baca Juga: Moms Wajib Tahu! 5 Penyakit yang Rentan Terjadi pada Bayi di Tahun Pertama Dalam catatan Kontan.co.id sebelumnya, di tahun ini Uni-Charm melihat prospek bisnis yang cerah di Indonesia. Sekretaris Perusahaan Uni-Charm Indonesia Vikry Ahmadi menyampaikan, di 2023 pihaknya memproyeksikan pertumbuhan pendapatan bersih UCID dapat tumbuh dobel digit atau setara dengan capaian tahun lalu. "Kami optimis untuk pendapatan dan laba akan lebih baik dari tahun lalu," ujar dia belum lama ini. Di balik makin gurihnya bisnis ini, limbah popok bayi semakin membludak dan memenuhi berbagai penjuru tempat. Ada yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan tak sedikit pula yang hanyut di sungai, kemudian mengalir hingga terombang-ambing di laut. Peneliti dari Ecoton, Prigi Arisandi mengungkapkan, pembuangan popok secara sembarangan ini umum terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Fenomena ini dibuktikan dengan banyaknya sampah popok yang mengotori seluruh sungai dari Sabang hingga Sorong. Ambil contoh di satu wilayah saja di Jawa Timur, menurut data Common Seas pada 2022, terdapat 1,5 juta hingga 3 juta sampah popok sekali pakai yang masuk dan mengotori sungai Brantas. Menurut data Ecoton, popok sekali pakai menjadi salah satu sampah yang mendominasi sampah plastik yang hanyut ke laut. Berdasarkan komposisinya, persentase sampah popok bisa mencapai 21%.
Baca Juga: Moms Wajib Tahu! Sederet Bahaya Ruam Popok dan Cara Mengobatinya “Popok mengandung bahan berbahaya dan beracun yaitu polimer penyerap super (SAP) yang bentuknya serbuk, micro plastic dan microbeads sebanyak 42%, lalu bahan selulosa yang bentuknya TBT (tributiltin) styrene dan xylene sebanyak 27% yang dampaknya menimbulkan sindrom syok keracunan pada pengguna, radang dan cedera paru serta iritasi kulit dan kesulitan bernafas,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (13/6). Advokasi Program Ecoton, Aziz berpendapat persoalan sampah popok plastik ini belum disadari banyak masyarakat. Ketika Ecoton menyusuri beberapa sungai di Indonesia timbunan sampah popok plastik terus bertambah. "Masih banyak masyarakat umum yang membuang sampah popok plastik di sungai atau tersangkut di pipa atau sela jembatan dan berakhir di laut," ucapnya. Rupanya, Aziz bilang edukasi pembuangan limbah popok masih sangat minim di Indonesia. Banyak yang tidak tahu kalau komposisi popok yaitu SAP dan gel hanyut di sungai dan laut kemudian pecah menjadi serpihan kecil seperti mikroplastik dan dimakan ikan. "Jika dimakan ikan maka akan menghancurkan kehidupan biota laut itu seperti ikan dan tentu berdampak pada kesehatan manusia jika ikan tersebut dimakan," ungkapnya. Dari penelitian Ecoton, merek popok yang banyak ditemukan di sungai yang berakhir di laut adalah MamyPoko dan Sweety. Selain tidak terkendalinya sampah popok sekali pakai, masalah ini semakin serius karena limbah yang tergolong sebagai sampah residu ini pengolahannya tidaklah mudah. Seperti diketahui, bahan spons pada diapers terbuat dari polimer yang tidak mudah terdegradasi. Dan diperkirakan butuh waktu 200 tahun hingga 500 tahun bagi diapers agar benar-benar bisa didaur ulang. Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Sampah Indonesia (APSI), Edy Supriyanto menjelaskan sampah popok termasuk tergolong sebagai sampah residu yang mencemari lingkungan ketika dibuang sembarangan oleh pemakainya. Sejatinya, sampah popok bersama dengan sampah residu lainnya saat ini sudah mulai dikelola menggunakan teknologi co-firing atau Refuse Derived Fuel (RDF). Namun sayang, Edy mengatakan, belum semua daerah dapat mengolahnya di TPA karena membutuhkan sarana prasarana dan biaya operasional yang cukup tinggi. “Pengolahan teknologi co-firing RDF itu pengadaan sarana-prasana membutuhkan puluhan miliar dan biaya operasionalnya tergantung berapa volume sampah yang diolah, minimal dalam 100 ton sampah diolah dalam sehari,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (13/6). Khusus untuk teknologi RDF ini, sampah dibakar untuk dijadikan bahan substitusi batubara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pabrik semen. “Untuk saat ini anggota APSI belum ada yang secara spesifik mengolah sampah ini sehingga mempunyai nilai lebih,” ujarnya Meski teknologi menjadi hambatan, sudah ada perusahaan rintisan (startup) yang mulai mengelola limbah popok sekali pakai.
Baca Juga: 7 Tips Traveling bersama Bayi Pakai Kereta, Siapkan Barang-Barang Berikut Ini Partnership & Enterprise Duitin, Nur Amelia mengatakan sejauh ini sampah popok yang dikirimkan pengguna aplikasi Duitin terbilang terus bertambah. Jika dihitung setiap bulan pengguna mengumpulkan dua sampai tiga ton popok dari pengguna aplikasi Jakarta dan Tangerang Selatan. "Hampir 60% sampai 70% persen repeat user aplikasi," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (16/6). Amel mengaku meski sampah popok plastik terus bertambah namun kesadaran masyarakat untuk menggunakan aplikasi pengumpul sampah sudah cukup diminati. Ya, meskipun belum seratus persen yang menggunakan namun beberapa pengguna aplikasi duitin melek untuk memilah sampah khususnya mengumpulkan sampah popok plastik. Bicara soal daur ulang sampah popok, Amel akui pada dasarnya tidaklah susah. Untuk proses daur ulang, Amel bilang Duitin bekerja sama dengan perusahaan daur ulang sampah di Karawang. Dari pengumpulan sampah popok plastik nantinya akan didaur ulang menjadi media tanam sehingga tidak mencemari lingkungan. Tidak hanya perusahaan saja yang mulai mengelola sampah ini, saat ini secara mandiri ibu-ibu pegiat lingkungan di daerah Jogja sudah bisa mengolah dan memanfaatkan sampah tersebut menjadi produk bantal guling sebagai pengganti kapuk. Ketua Umum Asosiasi Bank Sampah Indonesia (ASOBSI), Wilda Yanti menceritakan inisiatif mengelola sampah popok menjadi kapuk sudah lama dijalankan tetapi belum masif. “Rata-rata terkendala pemasaran produk akhir yang dihasilkan. Saat ini masih berjalan aktivitasnya tetapi pelan,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (16/5). Cerita lainnya, lanjut Wilda, ada beberapa anggota ASOBSI yang sudah mengelola popok menjadi pot dan berbagi produk. Kegiatan ini sudah dilakukan di pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Menurut analisa ASOBSI di lapangan, selain sampah popok bayi, terjadi peningkatan limbah popok lansia dan popok hewan. Selain itu, pembalut juga dengan gaya hidup meningkat juga penggunaan harian seperti pantiliner. Wilda mengakui, kondisi makin bervariasinya produk diaper ini semakin meresahkan seiring pertumbuhan penduduk dan gaya hidup masyarakat. Ditambah lagi mulai banyak sampah popok hewan peliharaan.
Baca Juga: Moms Wajib Tahu, Ini 5 Tips Menjemur Bayi di Bawah Sinar Matahari “Perlu edukasi intensif kepada masyarakat untuk perubahan perilaku dalam penggunaan dan mengatasi sampah popok hingga pembalut,” tegasnya. Butuh Regulasi yang Tegas
Sekjen APSI menegaskan, untuk mengelola sampah popok atau produk diaper lainnya, butuh ketegasan pemerintah sebagai pemegang regulasi untuk menjalankan Amanah Undang-Undang Pengelolaan Sampah (UUPS). “Di dalam beleid tersebut, produsen wajib untuk menarik kembali sampah produk yang dihasilkan,” ujarnya. Kemudian pemerintah menyediakan sarana prasarana pengelolaan, serta pemakai atau konsumen wajib memilah sampahnya dan membayar retribusi. Adapun pihak pengolah juga mesti mendapatkan insentif. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .