KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak kepolisian menyelesaikan pelanggaran yang dilakukan 89 platform fintech yang dinilai telah merugikan masyarakat, baik itu berasal platform yang telah terdaftar maupun belum mengantongi izin dari OJK. Kepala Divisi Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta Nelson Simamora mengatakan, pihaknya mendesak OJK menyelesaikan semua permasalah hukum dan hak asasi manusia (HAM) yang dialami korban aplikasi pinjaman online secara menyeluruh. “OJK sebagai lembaga keuangan, harus membenahi persoalan ini, karena penyaluran pinjaman industri fintech
lending di tahun depan bisa mencapai Rp 40 triliun dan akan banyak nasabah menggunakan layanan ini. Kami minta OJK jangan melakukan resistensi hanya karena industri ini masih baru dan sedang berkembang,” kata Nelson di Jakarta, Minggu (9/12).
Pihaknya masih mempertimbangkan opsi untuk melakukan pertemuan sekaligus pembicaraan terkait masalah tersebut dengan OJK. Tapi keputusan itu masih menunggu masukan dari para korban. Karena dikhawatirkan bahwa kedatangan LBH Jakarta ke OJK justru tidak ditindaklanjuti dengan baik, seperti 2.000 laporan pengaduan masyarakat yang masuk ke OJK. “Nanti kami melihat apakah mendatangi OJK apakah menjadi solusi yang tepat, masalahnya mereka telah menerima 2.000 pengaduan dari pinjaman online tapi tidak ditindaklanjuti malah memerintahkan korban untuk melapor ke pihak kepolisian atau tidak menggunakan layanan dari fintech ilegal,” keluhnya. Selain itu, ia mendesak kepolisian untuk mengusut tuntas semua tindak pidana yang dilaporkan oleh penyelenggara layanan pinjaman tersebut. Kemungkinan pelaporan ke pihak kepolisian dilakukan tahun depan, dan LBH Jakarta tengah mengidentifikasi pelanggaran dan aturan apa saja yang bisa menjerat mereka. Menurutnya, penyelenggara layanan tersebut bisa terkena hukuman pidana dan perdata. Seperti melanggar undang-undang (UU) informasi dan transaksi elektronik (IT), dari penyalahgunaan data nasabah, melakukan pengancaman dan pencemaran nama baik di media elektronik. Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot menyebut, semua fintech lending yang terdaftar dan telah mengantongi izin dari OJK wajib memenuhi ketentuan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Di antaranya memenuhi ketentuan kewajiban dan pelarangan atas usaha layanan tersebut. “Apabila terjadi dan terbukti adanya penyelenggara fintech legal yang melakukan pelanggaran, maka OJK dapat mengenakan sanksi sesuai pasal 47 POJK 77, mulai dari peringatan tertulis, pembekuan kegiatan usaha sampai dengan pembatalan atau pencabutan tanda daftar atau izin,” ungkapnya.
Sementara keberadaan fintech lending ilegal bukan menjadi pengawasan OJK, namun tetap menjadi perhatian bersama. OJK yang juga tergabung dalam Satgas Waspada Investasi bersama 13 lembaga dan Kementerian akan terus menangani masalah tersebut. Salah satunya, Rabu (14/11) telah diadakan pertemuan antara LBH, YLKI, Kemkominfo, Bareskrim, Google Indonesia dan AFPI. Pada kesempatan berbeda, Ketua AFPI Adrian Gunadi mengatakan asosiasi tengah meneliti kebenaran soal fintech terdaftar yang melanggar kode etik yang disepakati asosiasi dan OJK. Kode etik itu salah satunya tentang mekanisme penagihan. Saat ini, asosiasi telah membentuk kesepakatan bahwa penagihan memiliki batas waktu masksimal 90 hari. Jika lewat dari masa tenggat, peminjam tidak akan ada ditagih lagi. Sebagai ganjaran nama peminjam yang mengemplang akan masuk daftar hitam sistem data debitur. Itu berarti peminjam tersebut kelak sulit mendapatkan pinjaman, baik dari fintech maupun lembaga keuangan lain. Nantinya fintech legal jika terbukti tidak mematuhi kode etik maka izin akan dicabut dan dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati