KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan program mandatori biodiesel B50, yaitu bauran solar dengan 50% bahan bakar nabati (BNN) berbasis minyak sawit atau CPO dinilai oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Fadhil Hasan idealnya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan penerapan B30, B35 dan B40. Alasan utama menurut Fadhil adalah melihat stagnannya produksi CPO dalam negeri beberapa tahun belakangan. Ia menambahkan, penerapan kebijakan ini harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan; bukan hanya sebatas kebijakan terkait dengan swasembada energi. "Kita menyarankan sebenarnya kalau mau dilakukan sampai ke B50, itu harus dipastikan dahulu pasokan CPO-nya itu tersedia. Kalau sekarang ini kan dalam beberapa tahun terakhir, produksi CPO kita itu mengalami penurunan atau stagnasi," kata Fadhil dalam acara diskusi INDEF, Rabu (23/10). Saat ini selain memenuhi mandatori biodiesel, industri sawit juga harus memenuhi kebutuhan pangan dan ekspor. Jika produksi CPO tak bertambah namun bauran CPO untuk biodiesel terus bertambah seperti B40, B50 dan seterusnya maka kapasitas ekspor akan dialihkan untuk kebutuhan biodiesel dalam negeri. Baca Juga: Rencana Penerapan B40 Tahun Depan, Ini Beberapa Tantangan yang Dihadapi Berkaca pada hal tersebut, Fadhil lantas menekankan aspek teknis dari kebijakan B50 yang harus dikaji lebih lanjut, terutama terkait kemampuan industri otomotif dalam mengakomodasi peningkatan kadar biodiesel. "Pemerintah pertahankan kebijakan B40 atau bahkan B35 untuk 3—4 tahun ke depan, sembari meningkatkan produksi CPO melalui percepatan program peremajaan kebun kelapa sawit dan peningkatan produktivitas," katanya. "Jadi nanti itu kalau misalnya dilaksanakan (B50), ekspor (CPO) tidak berkurang, tetapi kemudian domestic consumption tetap meningkat," tegasnya. Sebagai catatan, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) total produksi CPO Indonesia pada Agustus 2024 atau sebesar 3,98 juta ton atau naik dari bulan sebelumnya sebanyak 3,61 juta ton. Namun jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, dari Januari sampai dengan bulan Agustus 2024, produksi berada di angka 34,52 juta ton atau 4,86% lebih rendah dari produksi di Januari-Agustus 2023 yaitu dari 36,29 juta ton. Sementara itu, total ekspor mengalami kenaikan dari 2,24 juta ton pada Juli menjadi 2,38 juta ton pada Agustus atau naik sebesar 6,35%. Baca Juga: Efek Rencana Program B50, Harga CPO Diproyeksi Tembus RM 5.500 Per Ton
Lebih Lambat, Penerapan B50 Optimal Dilakukan 3-4 Tahun Lagi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penerapan program mandatori biodiesel B50, yaitu bauran solar dengan 50% bahan bakar nabati (BNN) berbasis minyak sawit atau CPO dinilai oleh Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Fadhil Hasan idealnya membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan penerapan B30, B35 dan B40. Alasan utama menurut Fadhil adalah melihat stagnannya produksi CPO dalam negeri beberapa tahun belakangan. Ia menambahkan, penerapan kebijakan ini harus memperhatikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan; bukan hanya sebatas kebijakan terkait dengan swasembada energi. "Kita menyarankan sebenarnya kalau mau dilakukan sampai ke B50, itu harus dipastikan dahulu pasokan CPO-nya itu tersedia. Kalau sekarang ini kan dalam beberapa tahun terakhir, produksi CPO kita itu mengalami penurunan atau stagnasi," kata Fadhil dalam acara diskusi INDEF, Rabu (23/10). Saat ini selain memenuhi mandatori biodiesel, industri sawit juga harus memenuhi kebutuhan pangan dan ekspor. Jika produksi CPO tak bertambah namun bauran CPO untuk biodiesel terus bertambah seperti B40, B50 dan seterusnya maka kapasitas ekspor akan dialihkan untuk kebutuhan biodiesel dalam negeri. Baca Juga: Rencana Penerapan B40 Tahun Depan, Ini Beberapa Tantangan yang Dihadapi Berkaca pada hal tersebut, Fadhil lantas menekankan aspek teknis dari kebijakan B50 yang harus dikaji lebih lanjut, terutama terkait kemampuan industri otomotif dalam mengakomodasi peningkatan kadar biodiesel. "Pemerintah pertahankan kebijakan B40 atau bahkan B35 untuk 3—4 tahun ke depan, sembari meningkatkan produksi CPO melalui percepatan program peremajaan kebun kelapa sawit dan peningkatan produktivitas," katanya. "Jadi nanti itu kalau misalnya dilaksanakan (B50), ekspor (CPO) tidak berkurang, tetapi kemudian domestic consumption tetap meningkat," tegasnya. Sebagai catatan, berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) total produksi CPO Indonesia pada Agustus 2024 atau sebesar 3,98 juta ton atau naik dari bulan sebelumnya sebanyak 3,61 juta ton. Namun jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, dari Januari sampai dengan bulan Agustus 2024, produksi berada di angka 34,52 juta ton atau 4,86% lebih rendah dari produksi di Januari-Agustus 2023 yaitu dari 36,29 juta ton. Sementara itu, total ekspor mengalami kenaikan dari 2,24 juta ton pada Juli menjadi 2,38 juta ton pada Agustus atau naik sebesar 6,35%. Baca Juga: Efek Rencana Program B50, Harga CPO Diproyeksi Tembus RM 5.500 Per Ton