JAKARTA. Pengusaha kayu olahan dalam negeri bersiap menghadapi gempuran kayu olahan asal Amerika Serikat (AS). Pengusaha kayu olahan lokal mengaku khawatir jika nantinya kayu olahan itu dijual dengan harga murah. AA Malik, Sekjen Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) mengatakan, selama ini kayu gergajian atau sawn timber asal AS yang masuk ke Indonesia dari jenis walnut, hardmaple, dan oak. Kayu-kayu itu di pasar domestik harganya jauh lebih mahal dibanding kayu lokal. Walau memiliki harga dan spesifikasi berbeda, Malik khawatir jika kayu yang masuk nantinya dijual murah sehingga mengganggu pasar kayu lokal. "Kami akan tanggapi serius kalau kayu impor banting harga hingga separuh," ujarnya, Selasa (22/5).
Oleh karena itulah, satu pekan ke depan, pengusaha kayu panel dalam negeri akan bertemu untuk membahas masalah ini. Menurut Malik, dalam pembicaraan itu akan dicari antisipasi yang akan dilakukan pengusaha kayu nasional jika kayu impor asal Amerika dijual murah. Dia menyebutkan, harga kayu panel lokal saat ini di pasar internasional mencapai US$ 600 per m3. Sedangkan sawn timber Amerika dibanderol US$ 1.500 per m3. Padukan lokal impor Untuk tetap bersaing, Malik menyebutkan, pengusaha kayu Indonesia akan lebih memadukan kayu lokal dengan kayu impor. Biasanya kayu impor dipakai sebagai pelapis permukaan kayu panel. "Sedikit pengusaha yang memakai kayu impor asal Amerika karena harganya sangat mahal," kata Malik. Purwadi Soeprihanto, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) mengaku tidak begitu khawatir dengan ancaman melimpahnya produk kayu asal negeri Paman Sam. "Kayu yang mereka jual kualitas premium, sehingga tidak mungkin bersaing dengan komoditas lokal," katanya. Dengan harga yang lebih murah, kayu lokal jelas memiliki daya saing lebih baik. Contohnya, kayu gelondongan atau log di pasar domestik harganya berkisar US$ 120-150 per m3, sedangkan di pasar internasonal mencapai US$ 300 per m3. Selain itu, masih tersedianya pasokan kayu di dalam negeri juga memperkuat posisi produk lokal. Dengan jatah produksi kayu alam sebanyak 9,1 juta m3, Purwadi yakin tidak semuanya akan terealisasi karena daya serap industri lokal masih sedikit. Selain penyerapan kurang, produksi kayu hutan alam bergeser ke hutan rakyat dan hutan tanaman industri (HTI).
Meski begitu, Purwadi mengakui kalau kayu asal Amerika lebih unggul karena mengantongi sertifikat legalitas International Finance Coporation (IFC) secara internasional. Sementara Indonesia baru sekitar 1,6 juta hektare yang memiliki sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) dari 22,5 juta hektare izin pengelolaan hasil hutan. Sementara Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) baru diberlakukan secara internasional pada 2013 nanti. Sebelumnya, pengusaha mebel Indonesia mengaku akan menambah impor dengan melimpahnya kayu olahan asal AS. Ambar Tjahyono, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengatakan, walau harganya lebih mahal 10% dibanding kayu olahan lokal, namun kayu olahan impor lebih disukai memiliki daya saing di pasar global. Kayu AS disukai karena memiliki sertifikat legalitas kayu yang jelas dan diakui pasar seluruh dunia. "Itu menjadi daya tarik pengusaha mebel," katanya. Tanpa mengatakan nilainya, menurut Ambar, impor kayu olahan akan naik seiring naiknya kebutuhan dan makin ketatnya aturan legalisasi kayu di pasar internasional. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini