Kegagalan menjadi pemacu semangat Leony Agus Setiawati meraih sukses. Ia pun segera bangkit dan berhasil membangun usaha busana muslim bertema sulam etnik. Kini, dengan ratusan plasma dan agen, Leony sukses menembus pasar mancanegara dan mencetak omzet hingga ratusan juta rupiah per bulan. Kegagalan seringkali mewarnai kisah perjalanan seorang pengusaha. Tak sedikit pula dari mereka yang mampu bangkit dan justru menuai sukses berkat kegagalan tersebut. Leony Agus Setiawati termasuk di antara kelompok itu. Kebangkrutan justru menjadi titik tolaknya untuk belajar hingga meraih keberhasilan. Awalnya, Leony yang juga akrab dipanggil Leony Anwar ini membuka gerai pakaian muslimah di rumahnya. “Saat itu, pada 2001, mencari pekerjaan sulit, dan saya memutuskan untuk bekerja dari rumah sambil menjadi ibu rumah tangga,” kenang perempuan yang menamatkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada 1999 ini. Selama empat tahun, Leony berbisnis pakaian di toko yang berlokasi di Tajur, Bogor. Namun, karena pengelolaan yang kurang baik, toko itu tidak berkembang, dan malah bangkrut. “Saya tidak memanajemeni bisnis itu dengan baik, karena hanya berpikir, yang penting laku saja,” ujar Leony.Beruntung, toko yang tutup itu masih menyisakan modal Rp 1 juta. Tak putus asa, Leony mencoba kembali bangkit membangun bisnis barunya. “Saya masih berharap sisa uang itu bisa dimanfaatkan untuk berbisnis,” kata dia.Lantaran melihat salah satu saudaranya terampil menyulam, Leony terinspirasi untuk membuat busana muslim dengan hiasan sulam tangan. Maklum, saat itu, belum banyak produk busana muslim yang mengaplikasi sulam tangan. Tak ingin kehilangan peluang, Leony segera membeli mesin jahit bekas dan beberapa kilogram bahan baju untuk mewujudkan ide.Dari bisnis lamanya, Leony paham model-model yang disukai pasar. Alhasil, ia mengolah sendiri desain busana muslim dengan menambahkan variasi sulaman tangan. Karena hanya melayani pesanan dari pelanggan, Leony cukup mempekerjakan dua penjahit dan dua penyulam pada awalnya. Melihat keunikan baju sulam tangan milik Leony, seorang pelanggan menganjurkannya untuk ikut dalam program binaan dari Kementerian Koperasi dan UKM. “Dari situ, saya rajin ikut pameran,” tutur Leony yang lantas mengibarkan bendera CV Azka Syahrani. Berkat rajin mengikuti pameran, produk berlabel Azka Collection makin dikenal. Dari pameran itu pula, akhirnya Leony mengenal penjualan dengan sistem keagenan. “Di pameran itu, selain menjual secara ritel, saya juga giat menawari orang-orang menjadi agen,” terangnya. Margin laba hingga 40% menjadi pemanis untuk menarik agen.Standar kesalahanUntuk mengimbangi permintaan yang terus meningkat, Leony pun terus menambah tenaga kerja. Selain karyawan tetap, ibu dari tiga anak ini juga ingin memberdayakan para perempuan di sekitar kota dan kabupaten Bogor, khususnya dalam proses penyulaman.Namun, usaha ini ternyata tak mudah. Ia menemui banyak kendala, lantaran ada berbagai penolakan. “Mereka berpikir saya mempunyai niat jahat, hingga mobil saya pernah dibaret ketika masuk ke sebuah desa untuk menawarkan kerja sama,” ujar dia.Tentu saja, Leony tak menyerah begitu saja. Ia mendekati majelis taklim masjid dan ustazah untuk memperkenalkan programnya. Langkah ini terbukti efektif. Alhasil, banyak ibu rumah tangga bersedia bergabung dengannya.Sayang, kendala tak berhenti di situ. Masalah kembali muncul saat Leony menetapkan standar prosedur kesalahan (SPK) untuk memastikan kualitas produk. Pasalnya, dalam SPK itu tercantum ketentuan, jika baju rusak, mereka harus membayar Rp 40.000. “Jadi, jika ingin mendapat pekerjaan mereka harus mau menandatangani SPK tersebut,” jelas dia.Hasilnya, bisa ditebak, banyak dari mereka yang sudah dapat pelatihan justru tak mau gabung. Mereka keberatan dengan beberapa peraturan yang tercantum dalam SPK. Untung hal itu tak berlangsung lama, karena mereka menyadari berbagai aturan itu membuat disiplin dan serius bekerja.Leony pun terus mengelola kelompok pemberdayaan ini. Ia mengangkat koordinator di tiap kelompok untuk memudahkan jika ada update kemampuan. Selain itu, ada sistem sertifikasi untuk memetakan pekerjaan mereka. “Jadi, saya membuat penilaian untuk menyesuaikan pesanan berdasarkan kemampuan kelompok,” jelas Leony.Tak hanya di kelompok penyulam, dia juga memodali 40 penjahitnya untuk membuka usaha konveksi. “Saya sediakan mesin jahit dan mereka menerima maklun dari saya dan orang lain,” ujarnya. Kini, Leony sudah mengembangkan 16 plasma dengan anggota sekitar 700 orang ibu rumah tangga. Dalam sebulan, Azka Collection mampu memasok hingga 20.000 pakaian muslimah untuk 200 agennya yang berada di berbagai daerah. Tak cuma itu, dengan penjualan online, produk Azka Collection berhasil menembus pasar di Malaysia dan Singapura. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Leony menyulam kesuksesan dari sederet kegagalan
Kegagalan menjadi pemacu semangat Leony Agus Setiawati meraih sukses. Ia pun segera bangkit dan berhasil membangun usaha busana muslim bertema sulam etnik. Kini, dengan ratusan plasma dan agen, Leony sukses menembus pasar mancanegara dan mencetak omzet hingga ratusan juta rupiah per bulan. Kegagalan seringkali mewarnai kisah perjalanan seorang pengusaha. Tak sedikit pula dari mereka yang mampu bangkit dan justru menuai sukses berkat kegagalan tersebut. Leony Agus Setiawati termasuk di antara kelompok itu. Kebangkrutan justru menjadi titik tolaknya untuk belajar hingga meraih keberhasilan. Awalnya, Leony yang juga akrab dipanggil Leony Anwar ini membuka gerai pakaian muslimah di rumahnya. “Saat itu, pada 2001, mencari pekerjaan sulit, dan saya memutuskan untuk bekerja dari rumah sambil menjadi ibu rumah tangga,” kenang perempuan yang menamatkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada 1999 ini. Selama empat tahun, Leony berbisnis pakaian di toko yang berlokasi di Tajur, Bogor. Namun, karena pengelolaan yang kurang baik, toko itu tidak berkembang, dan malah bangkrut. “Saya tidak memanajemeni bisnis itu dengan baik, karena hanya berpikir, yang penting laku saja,” ujar Leony.Beruntung, toko yang tutup itu masih menyisakan modal Rp 1 juta. Tak putus asa, Leony mencoba kembali bangkit membangun bisnis barunya. “Saya masih berharap sisa uang itu bisa dimanfaatkan untuk berbisnis,” kata dia.Lantaran melihat salah satu saudaranya terampil menyulam, Leony terinspirasi untuk membuat busana muslim dengan hiasan sulam tangan. Maklum, saat itu, belum banyak produk busana muslim yang mengaplikasi sulam tangan. Tak ingin kehilangan peluang, Leony segera membeli mesin jahit bekas dan beberapa kilogram bahan baju untuk mewujudkan ide.Dari bisnis lamanya, Leony paham model-model yang disukai pasar. Alhasil, ia mengolah sendiri desain busana muslim dengan menambahkan variasi sulaman tangan. Karena hanya melayani pesanan dari pelanggan, Leony cukup mempekerjakan dua penjahit dan dua penyulam pada awalnya. Melihat keunikan baju sulam tangan milik Leony, seorang pelanggan menganjurkannya untuk ikut dalam program binaan dari Kementerian Koperasi dan UKM. “Dari situ, saya rajin ikut pameran,” tutur Leony yang lantas mengibarkan bendera CV Azka Syahrani. Berkat rajin mengikuti pameran, produk berlabel Azka Collection makin dikenal. Dari pameran itu pula, akhirnya Leony mengenal penjualan dengan sistem keagenan. “Di pameran itu, selain menjual secara ritel, saya juga giat menawari orang-orang menjadi agen,” terangnya. Margin laba hingga 40% menjadi pemanis untuk menarik agen.Standar kesalahanUntuk mengimbangi permintaan yang terus meningkat, Leony pun terus menambah tenaga kerja. Selain karyawan tetap, ibu dari tiga anak ini juga ingin memberdayakan para perempuan di sekitar kota dan kabupaten Bogor, khususnya dalam proses penyulaman.Namun, usaha ini ternyata tak mudah. Ia menemui banyak kendala, lantaran ada berbagai penolakan. “Mereka berpikir saya mempunyai niat jahat, hingga mobil saya pernah dibaret ketika masuk ke sebuah desa untuk menawarkan kerja sama,” ujar dia.Tentu saja, Leony tak menyerah begitu saja. Ia mendekati majelis taklim masjid dan ustazah untuk memperkenalkan programnya. Langkah ini terbukti efektif. Alhasil, banyak ibu rumah tangga bersedia bergabung dengannya.Sayang, kendala tak berhenti di situ. Masalah kembali muncul saat Leony menetapkan standar prosedur kesalahan (SPK) untuk memastikan kualitas produk. Pasalnya, dalam SPK itu tercantum ketentuan, jika baju rusak, mereka harus membayar Rp 40.000. “Jadi, jika ingin mendapat pekerjaan mereka harus mau menandatangani SPK tersebut,” jelas dia.Hasilnya, bisa ditebak, banyak dari mereka yang sudah dapat pelatihan justru tak mau gabung. Mereka keberatan dengan beberapa peraturan yang tercantum dalam SPK. Untung hal itu tak berlangsung lama, karena mereka menyadari berbagai aturan itu membuat disiplin dan serius bekerja.Leony pun terus mengelola kelompok pemberdayaan ini. Ia mengangkat koordinator di tiap kelompok untuk memudahkan jika ada update kemampuan. Selain itu, ada sistem sertifikasi untuk memetakan pekerjaan mereka. “Jadi, saya membuat penilaian untuk menyesuaikan pesanan berdasarkan kemampuan kelompok,” jelas Leony.Tak hanya di kelompok penyulam, dia juga memodali 40 penjahitnya untuk membuka usaha konveksi. “Saya sediakan mesin jahit dan mereka menerima maklun dari saya dan orang lain,” ujarnya. Kini, Leony sudah mengembangkan 16 plasma dengan anggota sekitar 700 orang ibu rumah tangga. Dalam sebulan, Azka Collection mampu memasok hingga 20.000 pakaian muslimah untuk 200 agennya yang berada di berbagai daerah. Tak cuma itu, dengan penjualan online, produk Azka Collection berhasil menembus pasar di Malaysia dan Singapura. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News