Level Rp 14.000 bukan titik ekuilibrium baru rupiah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang pekan ini, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) terus meredup. Pada penutupan perdagangan hari ini, Rabu (16/5), rupiah di pasar spot ditutup melemah 0,43% ke level Rp 14.097 per dollar AS. Bahkan, rupiah sudah sempat menembus ke atas level Rp 14.100. Mungkinkah rupiah telah mencapai titik keseimbangan barunya?

Ekonom Bank Permata Josua Pardede menampik anggapan tersebut. Ia berpendapat, posisi mata uang Garuda di level Rp 14.000 per dollar AS ini tidak mencerminkan kondisi fundamentalnya.

"Ini terjadi karena faktor eksternal yang sifatnya temporer. Nantinya kalau arah kebijakan moneter AS serta pertumbuhan ekonominya sudah lebih jelas, kondisi pasar bisa berubah," ujarnya, Rabu (16/5).


Josua menilai, pelemahan rupiah hari ini menembus level terendahnya sepanjang tahun lebih disebabkan oleh sikap pasar yang masih menanti kepastian kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia. Tambah lagi, data penjualan ritel AS bulan sebelumnya direvisi menjadi lebih tinggi sehingga ada perkiraan rilis pertumbuhan ekonomi AS yang kedua bisa lebih baik dari yang pertama.

Yang kian menekan nilai tukar rupiah sepanjang pekan ini, ialah juga yield surat utang negara (SUN) AS atau US Treasury bertenor 10 tahun yang saat ini berada di atas 3%. Hal ini terjadi lantaran pemerintah China yang merupakan pembeli terbesar US Treasury mulai mengurangi pembeliannya. Naiknya yield US Treasury lantas mendorong permintaan terhadap dollar AS.

Analis Pasar Uang Bank Mandiri Reny Eka Putri, sepakat, posisi nilai tukar saat ini bukanlah titik ekuilibrium rupiah yang baru. Justru, menurutnya rupiah berpeluang menguat pada paruh kedua tahun ini.

Penguatan rupiah, menurutnya, akan terjadi seiring dengan kemampuan Bank Indonesia merespon kebijakan ekonomi AS. Di antaranya, dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 sampai 50 bsp hingga akhir tahun.

Senada, Josua yakin rupiah bisa kembali bangkit di semester kedua nanti. Namun, ia tak begitu sepakat Bank Indonesia mengambil langkah terlalu cepat mengerek suku bunga.

"Masih perlu melihat seberapa agresif perekonomian AS, tapi secara seasonal nantinya akan ada faktor-faktor pendorong juga buat rupiah," kata dia.

Menurutnya, arah kebijakan moneter AS memang masih akan menjadi penentu utama pergerakan rupiah. Oleh karena itu, lebih baik BI menunggu hingga kepastian tersebut tampak setidaknya pada Juni mendatang.

Josua memproyeksi, akhir tahun nanti rupiah berpotensi bergerak dalam rentang yang cukup lebar, yaitu Rp 13.700 - Rp 14.000 per dollar AS. Sementara, Reny mantap menargetkan rupiah akan ditutup menguat pada posisi Rp 13.779 per dollar AS di akhir 2018.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sofyan Hidayat