Liberalisasi Sektor Pelayaran Berpotensi Terjadi di Indonesia



KONTAN.CO.ID - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja turut menyasar aturan dalam bidang pelayaran, yaitu dengan melakukan perubahan terhadap Undang-Undang (UU) No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.

Beleid sapu jagat ini melakukan peringkasan dengan menghapus, menambah, dan mengubah beberapa isi di dalam UU 17/2008. Ada setidaknya 46 poin perubahan dari beberapa ketentuan dalam UU 17/2008 yang diubah di dalam beleid sapu jagat ini.

Setidaknya ada tiga poin penting yang bisa disimpulkan dalam revisi UU 27/2008 dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, adanya peluang bagi kapal asing untuk berlayar dan beroperasi di indonesia sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia atau belum mencukupi jumlahnya.


Ketentuan ini sebelumnya tidak diatur dalam UU 17/2008. Pada beleid lama tersebut, kapal yang melayani angkutan penumpang barang dan penumpang harus berbendera Indonesia dan diawaki oleh orang Indonesia atau yang selama ini dikenal dengan asas cabotage.

Kedua, dominasi pemerintah pusat dalam izin berusaha sektor pelayaran dan kepelabuhanan. Bila sebelumnya, izin trayek ditetapkan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan asosiasi, maka kelak dalam RUU Cipta Kerja, semua adalah wewenang pemerintah pusat.

Ketiga, segala jenis pelanggaran hanya dikenakan sanksi administratif dengan ketentuan teknisnya akan dituangkan dalam  Peraturan Pemerintah (PP). Hilang sanksi berupa denda dan pidana untuk berbagai pelanggaran ini memang sesuai dengan semangat awal pemerintah membentuk RUU Cipta Kerja.

Jika dirinci, perubahan ini mencakup penghapusan 12 pasal lama, penambahan 1 pasal baru, serta revisi beberapa poin di dalam pasal lainnya. Keduabelas pasal dalam UU Nomor 17 tahun 2008 yang dihapus di dalam Omnibus Law ini, yaitu pasal 30, pasal 52, pasal 53, pasal 97, pasal 103, pasal 107, pasal 127, pasal 156, pasal 157, pasal 159, pasal 161, serta pasal 162.

Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi mengatakan, penghapusan pasal ini seharusnya tidak perlu dilakukan. Apalagi, pasal-pasal dihapus memuat aturan yang bersifat sangat teknis.

Seharusnya, pemerintah bisa mengatur beberapa ketentuan yang bisa  dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja, seperti aturan mengenai upah pelaut yang selama ini belum diatur.

"Malah pasal yang tidak  ada itu yang diperlukan, misalnya upah pokok bagi pelaut. Soal gaji ini kan diurus oleh lintas lembaga, ini kan harusnya diselesaikan oleh omnibus law," ujar Siswanto saat dihubungi KONTAN, Minggu (1/3).

Nihilnya pasal yang mengatur besaran upah miminum bagi pelaut tentu akan membuat pengaturan upah ini menjadi semakin tidak adil. Padahal, dibutuhkan banyak sertifikasi bagi pelaut sebelum mereka dapat menjalankan profesinya.

Selain penghapusan pasal, ada pula beberapa aturan yang diubah kewenangannya dari yang sebelumnya milik pemerintah daerah, kemudian menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Sebagai contoh, ketentuan pasal 5 dalam UU 17/2008 menyebutkan bahwa, pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Lalu, usulan rumusan perubahan dari pasal 5 di dalam RUU Cipta Kerja menjadi, pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah pusat.

Di dalam naskah akademik RUU Cipta Kerja, dijelaskan alasan perubahan ini adalah sesuai dengan arahan presiden, yakni, politik hukum dalam penyusunan RUU Cipta Kerja kewenangan menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/walikota perlu ditata kembali berdasarkan prinsip perizinan berusaha berbasis risiko dan menerapkan penggunaan teknologi informasi dalam pemberian perizinan, misalnya perizinan berusaha secara elektronik.

Disebutkan pula, potensi implikasi dari perubahan ini adalah memberikan fleksibilitas bagi pemerintah pusat dalam mengambil kebijakan, dalam mengikuti dinamika masyarakat dan global yang semakin cepat.

Siswanto menilai, seharusnya tidak semua peraturan dilimpahkan ke pemerintah pusat. Meskipun hal itu dinilai sah-sah saja, tetapi seharusnya pemerintah daerah (pemda) juga diberikan kesempatan yang sama.

"Sesuai dengan UU otonomi daerah, sebetulnya pelabuhan itu kan harus ditangani oleh pemda. Sekarang semuanya ditarik ke pusat, pemda nggak ada lagi pendapatan," katanya.

Untuk itu, kebijakan ini dinilai kurang efektif serta perlu dikaji lebih lanjut oleh pemerintah. Siswanto bahkan menyebut, penyusun RUU Cipta Kerja tidak mengikuti perkembangan dunia pelayaran, sehingga akhirnya mengeluarkan pasal-pasal yang kurang tepat sasaran.

Terkait kehadiran kapal asing untuk kegiatan pelayaran yang belum terjangkau kapal berbendera Indonesia, Siswanto bilang  sebenarnya pasal 8A tersebut selama ini memang sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor PM 92 tahun 2018 tentang Tata Cara dan Persyaratan Persetujuan Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri.

Menurut Siswanto, pasal tambahan ini terlalu teknis apabila diatur dalam UU. Seharusnya, aturan ini tidak perlu masuk ke dalam RUU Cipta Kerja dan tetap diatur di dalam Permenhub saja.

"Sepertinya Menteri Perhubungan (Menhub) tak mau lagi direpotkan, Permenhub yang mengizinkan penggunaan kapal asing itu diubah terus setiap tahun. Jadi, sekarang itu dicangkokkan ke dalam aturan ini" papar Siswanto

Patut dinantikan, akhir dari rencana revisi aturan terkait pelayaran ini ke depannya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Fahriyadi .