Libur dan pelemahan rupiah menghambat manufaktur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penurunan kontribusi industri manufaktur ke perekonomian nasional sepertinya masih akan berlanjut pada tahun ini. Sebab seperti tahun-tahun lalu, pola pertumbuhan industri manufaktur, tumbuh tinggi pada kuartal awal namun melemah di kuartal selanjutnya.

Hal itu tergambar dari data yang dipaparkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat, produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) pada kuartal kedua 2018 tumbuh 4,36% year on year (YoY), melambat dibanding kuartal sebelumnya yang tercatat tumbuh 5,36% YoY.

Perlambatan juga terjadi pada industri manufaktur kecil (IMK), dari 5,25% YoY menjadi 4,93% YoY. Perlambatan ini sama dengan pola tahun-tahun sebelumnya, produksi manufaktur kuartal kedua melambat dibanding kuartal sebelumnya.


Kepala BPS Suhariyanto menyebut, sektor IBS yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada kuartal kedua 2018, yaitu industri kulit dan alas kaki yang naik 27,73%, indusri karet, barang dari karet dan plastik naik 17,28%, dan industri minuman yang naik 15,41%. "Permintaan dari luar untuk produk kulit dan barang dari kulit tampaknya memacu produksi sehingga tumbuh 27,73%. Tetapi share-nya kecil, hanya 1,59%," kata Suhariyanto, Rabu (1/8).

Sementara IBS yang berkontribusi besar, yaitu industri makanan dan minuman hanya tumbuh 8,6%.

Namun ada juga sektor industri besar dan sedang (IBS) yang mengalami penurunan, seperti jasa reparasi dan pemasangan mesin dan perlatan yang turun 11,37%, industri komputer, barang elektronik dan optik yang turun 8,84%, dan industri bahan kimia dan barang dari kimia turun 4,94%. Padahal, industri tersebut memiliki share besar terhadap total produksi IBS. Industr bahan kimia dan barang dari kimia berkontribusi 14,7%, terbesar kedua setelah industri makanan dan minuman.

Produksi industri manufaktur kecil (IMK) yang tumbuh tertinggi terjadi pada industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia 25,55%, industri percetakan dan reproduksi media rekaman 24,42%, dan industri logam dasar yang naik 22,7%. IMK yang terkontraksi, yaitu industri pengolahan tembakau turun 57,28%, industri mesin dan perlengkapan turun 17,43%, dan industri kertas dan barang dari kertas yang turun 7,8%.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Habibullah mengatakan, secara umum perlambatan produksi manufaktur disebabkan adanya masa libur yang panjang di kuartal kedua tahun ini. Namun, penurunan produksi manufaktur juga dipengaruhi oleh kurs rupiah yang melemah.

Hal itu terutama pada penurunan yang terjadi pada IBS jenis industri bahan kimia dan barang dari kimia. "Bahan kimia memiliki konten impor tinggi. Kalau (biaya) impor tinggi, produksi diturunkan," jelas Habibullah.

Tekanan liburan

Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) memang terus melemah mulai Februari 2018 hingga sekarang. Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia mencatat rata-rata kurs rupiah pada kuartal II 2018 sebesar Rp 13.953,75 per dollar AS. Nilai itu turun 2,81% dibandingkan rata-rata kuartal sebelumnya yang sebesar Rp 13.572,63.

"Waktu awal tahun, pengusaha mematok rupiah di 13.300, maksimal hitungan mereka 14.000. Sekarang-sekarang ini ada perubahan, sampai 14.400," jelas Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perindustrian Johnny Darmawan.

Pelemahan kurs rupiah jelas merugikan industri. Pasalnya banyak bahan baku industri berasal dari impor. Total impor Indonesia sepanjang semester I-2018 mencapai US$ 89,04 miliar, naik 23,1% YoY. Dari jumlah itu, impor bahan baku/penolong untuk kebutuhan industri mencapai 74,67% atau US$ 66,49 miliar.

"Tekanan bertambah lagi, karena banyak hari libur kuartal kemarin," ungkap Johnny. Hari efektif kerja pada Juni kemarin hanya sekitar 11 hari karena ada libur Lebaran.

Johnny menilai kegiatan industri mulai bangkit pada kuartal III, seiring dengan peningkatan penjualan pada Juli 2018. "Saya rasa sampai akhir tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu. Karena banyak uang beredar. Kan ada pilkada dan sebagainya. Tapi memang sekarang jangan berharap bisa tumbuh 10%-20%, paling tinggi 5% lah," jelas Johnny.

Hasil survei Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari Nikkei juga menunjukkan, indeks PMI pada Juli 2018 naik menjadi 50,5, dari Juni 2018 yang sebesar 50,3. Indeks PMI di atas 50 menunjukkan industri mampu ekspansi.

Aashna Dodhia, Ekonom IHS Markit menilai, perbaikan PMI Juli masih lemah. Selain faktor permintaan, itu karena industri tertekan pelemahan rupiah. "Menguatnya dollar mendorong peningkatan biaya input industri," katanya.

Kini kuncinya di tangan BI dan pemerintah. Bila ingin industri berkembang, kurs rupiah wajib dijaga, jangan terus melemah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie