JAKARTA. Tren kenaikan cadangan devisa Indonesia ternyata tak berlanjut. Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa hingga akhir Juni 2017 sebesar US 123,09 miliar. Jumlah itu turun US$ 1,86 miliar dibanding posisi akhir bulan sebelumnya yang sempat menembus rekor tertinggi US$ 124,95 miliar. Penurunan cadangan devisa terutama untuk memenuhi kebutuhan likuiditas valas perbankan dalam menghadapi libur panjang Lebaran. Oleh karena itu, BI memandang penurunan cadangan devisa ini bersifat temporer, sebab kebutuhan perbankan tersebut hanya untuk berjaga-jaga. Alasan lainnya, prospek ekspor yang baik. Optimisme terhadap perekonomian domestik tetap positif pasca pencapaian
investment grade. Kondisi pasar keuangan global juga diramalkan masih bakal kondusif.
Perhitungan BI, posisi cadangan devisa sampai akhir Juni 2017 masih kuat untuk membiayai 8,9 bulan impor atau 8,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Nilai ini berada di atas standar kecukupan internasional tiga bulan impor. "BI akan terus menjaga kecukupan cadangan devisa," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara, Jumat (7/7). Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara sependapat penurunan cadangan devisa hanya sementara. Dia bilang, salah satu pendorong peningkatan cadangan devisa adalah penerbitan obligasi pemerintah berdenominasi euro (euro bond). Apalagi, pemerintah berencana memperbesar target euro bond dari tahun lalu 3 miliar. Selain itu cadangan devisa ke depan juga masih terbantu arus modal asing yang masuk (
capital inflow). Perhitungan Bhima, cadangan devisa hingga akhir tahun berada US$ 127 miliar-US$ 130 miliar. Meski demikian, Bhima bilang, sejumlah kondisi masih perlu diwaspadai.
Pertama, rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed yang belum jelas besarannya pada semester kedua tahun ini dan normalisasi neraca The Fed.
Kedua, arah kebijakan Amerika Serikat (AS) pasca pertemuan G-20 di Jerman apakah tetap mempertahankan proteksionisme atau mengubah rencana.
Ketiga, pemangkasan produksi minyak mentah dan penambahan produksi minyak AS akan mempengaruhi harga minyak mentah dunia. Hal tersebut bisa berdampak pada nilai tukar rupiah atas dollar AS. Ketidakpastian global Kondisi nilai tukar rupiah memang tidak bisa dilepaskan dari cadangan devisa. Seperti diketahui kurs rupiah sejak Senin (3/7) hingga Jumat (7/7) melemah. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), kurs rupiah Senin lalu berada di level Rp 13.325 per dollar AS. Jumat kemarin, kurs rupiah melemah di level Rp 13.397 per dollar AS.
Bhima bilang, rupiah berpotensi melemah ke kisaran Rp 13.400-Rp 13.400 per dollar AS. "September sampai Oktober menjadi waktu yang paling krusial untuk kurs rupiah," katanya. Sedangkan Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memproyeksikan, masih adanya arus masuk modal asing (
inflow) akan menjaga nilai tukar rupiah sampai akhir tahun di level Rp 13.400 per dollar AS. Sedangkan cadangan devisa akhir tahun sebesar US$ 125 miliar-US$ 130 miliar. Gubernur BI Agus Martowardojo beralasan, ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian. Oleh karena itu saat ini ada kecenderungan dollar AS mengalami penguatan terhadap mata uang negara lain. "Dana mengalir ke
safe country yaitu AS, sehingga mata uangnya menguat dan mata uang yang lain melemah termasuk rupiah," katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini