Lika-liku divestasi Freeport: dari disinformasi, hingga persoalan lingkungan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA) soal divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PT FI) oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) pada 27 September 2018 lalu bukanlah akhir dari transaksi ini.

Pasalnya, Inalum masih harus melunasi pembayaran sebesar US$ 3,85 miliar yang rencananya akan diperoleh dari sindikasi delapan bank asing.

Pada saat penandatanganan itu, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin yakin bahwa transaksi itu akan usai pada bulan November. Namun, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi VII DPR RI, Rabu (17/10) kemarin, target tersebut mundur ke bulan Desember.


“Tinggal administrasi dan izin-izin untuk bisa penuhi syarat dan pembayaran sebelum closing. Diharapkan selesai bulan Desember,” ungkap Budi.

Dengan belum adanya transaksi pembayaran tersebut, artinya, pemerintah Indonesia melalui Inalum masih belum sah memiliki saham mayoritas di Freeport. Hal ini menjadi sorotan dari Komisi VII DPR RI, yang menganggap bahwa telah terjadi disinformasi di tengah publik, bahwa seolah-olah Inalum sudah menguasai 51% saham Freeport, padahal itu belum terealisasi.

“Divestasi ini belum terealisasi, belum ada pembayaran. Tapi dikesankan ke publik, bahwa telah menguasai 51% saham, sudah mayoritas. Faktanya belum satu rupiah pun kita lakukan pembayaran” ujar Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu yang juga sebagai pimpinan rapat dalam forum tersebut.

Lebih lanjut, Anggota Komisi VII Ramson Siagian menegaskan bahwa pihak-pihak terkait seharusnya memberikan informasi sesuai dengan kenyataan supaya tidak memberikan kerancuan di tengah publik.

“Bukan kita menyangkal ada proses itu. Kalau proses disebut proses, kalau sudah memiliki disebut memiliki. Beda dong” tegasnya.

Terganjal persoalan lingkungan

Apalagi, dalam RDP tersebut, terungkap bahwa penyelesaian proses divestasi tersebut terganjal jika masalah lingkungan tidak diselesaikan. Yaitu berupa hasil temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan adanya kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan Freeport yang jika direhabilitasi angkanya mencapai Rp. 185 triliun.

Gus Irawan menyampaikan, temuan tersebut telah disampaikan oleh BPK dalam Rapat Konsultasi yang digelar seminggu sebelumnya (Rabu, 10/10). Bersama para pakar dari Institut Pertanian Bogor (IPB), BPK, kata Gus, telah menghitung dan menemukan kerusakan ekosistem yang diakibatkan penambangan Freeport, sebesar US$ 13,59 miliar.

“Ekosistem yang rusak, kalau direhabilitasi, dirupiahkan pada saat audit dilaksanakan dua tahun lalu, itu sebesar Rp. 185 triliun. Kalau kurs hari ini sudah mencapai Rp. 210-an triliun,” katanya.

Terlebih, lanjut dia, ada juga temuan yang mengungkapkan bahwa Freeport memakai kawasan hutan lindung tanpa adanya Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) seluas 4.535,93 hektare.

“Itu sudah berlangsung delapan tahun. BPK menghitung, kalau itu tanpa izin, potensi kerugian negara untuk PNBP itu hitungannnya Rp. 33 miliar lebih per tahun, dikali delapan,” tambahnya.

Menurutnya, hasil temuan BPK ini bersifat mengikat, dan harus dijalankan. Ia pun mempertanyakan, apakan persoalan lingkungan ini sudah masuk ke dalam perhitungan di perjanjian divestasi, dan apakah Inalum akan menanggung kerugian tersebut jika nantinya sudah memiliki mayoritas saham di Freeport.

Karena hal tersebut, Gus menyebut, pihaknya mendorong agar persoalan lingkungan ini diselesaikan lebih dulu sebelum transaksi divestasi dilakukan. “Temuan BPK itu final and binding. Kami simpulkan dalam rapat hari ini, bahwa pembayaran divestasi itu dilakukan setelah soal lingkungan ini diselesaikan,” ujar Gus Irawan.

Budi Gunadi Sadikin pun tak menampik bahwa isu lingkungan ini bisa menjadi penghambat pendanaan untuk menyelesaikan proses divestasi Freeport. Ia bilang, jika persoalan lingkungan ini tak selesai, maka sindikasi delapan perbankan asing itu tak akan mau mencairkan pinjamannya.

“Semua bank itu kalau kasih kredit, pasti melihat isu lingkungan. Pembayaran setelah isu lingkungan ini selesai. Nggak mungkin uang keluar kalau isu ini tidak selesai,” ungkap Budi.

Apalagi, lanjut Budi,untuk menyelesaikan divestasi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus terlebih dulu ke luar. Sedangkan persoalan lingkungan itu sudah harus selesai, karena di dalam IUPK ada klausula yang mengharuskan kewajiban lingkungan sudah diselesaikan.

“IUPK mesti terbit, nah di dalam IUPK itu ada klausula mengenai kewajiban lingkungan yang harus diselesaikan,” imbuhnya.

Budi meyakinkan, persoalan lingkungan ini sudah diperhitungkan dalam perjanjian, sehingga apabila nanti Inalum sudah memegang mayoritas saham, holding pertambangan BUMN ini tak terkena imbasnya kecuali atas kepemilikan saham saat ini sebesar 9,36%. “Dampak lingkungan sudah diperhitungkan dari due diligence kami. Yang bertanggung jawab Freeport, bukan Inalum sebagai pembeli,” imbuh Budi.

Namun, menurut Direktur Eksekutif PTFI Tony Wenas, angka sebesar Rp. 185 triliun itu bukan hasil temuan audit yang direkomendasikan kepada PTFI. Itu pun menurutnya masih harus dikonsultasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena nilai potensi kerugian sebesar Rp. 185 triliun itu didasarkan perhitungan IPB dan pembukaan lahan dari satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Adapun, Freeport sendiri mendapatkan delapan rekomendasi dari BPK. Tony mengklaim, enam diantaranya sudah diselesaikan. Sementara sisanya dalam proses penyelesaian, yakni terkait Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) dan satunya lagi soal IPPKH.

Tony bilang, pihaknya telah memasukkan persyaratan tersebut beberapa tahun lalu, tetapi ada permintaan perubahan, dan Freeport telah memasukkan kembali pada September 2017 lalu. “Semestinya nggak ada masalah, karena memang seperti itu,” akunya.

Sedangkan dari KLHK, ada 48 poin, dimana dari 30 yang menjadi instruksi, 24 diantaranya sudah selesai, dan enam sisanya dalam proses penyelesaian. Saat ini pun, lanjut Toni, pihaknya masih melakukan konsultasi dengan KLHK untuk menyelesaikan persoalan ini. “Perhitungan ini masih perlu didiskusikan lagi dengan KLHK, sampai saat ini kami masih konsultasi,” ujar Toni.

Ia juga mengungkapkan bahwa ke depan ada sejumlah opsi pemanfaatan limbah atau tailling, serta pemulihan lingkungan, termasuk dengan penyusunan peta jalan (road map). “Itu antara lain, ada beberapa opsi, beberapa pendekatan, itu dibuat dalam satu peta jalan.” Imbuhnya.

Rentan Menjadi Bola Liar

Persoalan ini tak menutup kemungkinan untuk bergulir menjadi bola liar. Pasalnya, menurut Gus Irawan, bisa dibuka wacana untuk pembentukan Panitia Khusus (Pansus).

Mengingat, kata dia, proses ini berjalan pada lintas sektor kementerian. Gus bilang, ada empat sektor kementerian yang terlibat dalam proses ini, yakni Kementerian ESDM di bidang penerbikan IUPK dan smelter, Kementerian BUMN terkait dengan divestasi, Kementerian Keuangan mengenai kebijakan fiskal, serta KLHK untuk persoalan kerusakan hutan dan lingkungan.

“Oleh karena itu, tadi muncul wacana ini ke Pansus. Panja (Panitia Kerja) Freeport ada, tapi karena lintas kementerian, perlu untuk di bawa ke Pansus,” katanya.

Namun, menurut Anggota Komisi VII Maman Abdurrahman, persoalan ini tidak perlu dibawa sampai ke Pansus. Hanya saja, dia tetap mendorong agar persoalan ini bisa diungkap secara gamblang dan dapat diselesaikan, termasuk jika harus mengundang kementerian terkait untuk dimintai keterangan.

Sebabnya, menurut Maman, isu ini bisa menemui kebuntuan jika masing-masing pihak bersikukuh pada posisinya masing-masing. “Kalau Pansus terlalu jauh lah, apa urusannya divestasi dibawa-awa ke Pansus? Kalau mau, penetrasinya lebih banyak ke KLHK, ESDM tetap ikut, Kementerian BUMN juga Kemenkeu tidak ada salahnya untuk ikut diundang, untuk transfer informasi,” ungkapnya.

Jika proses ini tetap berlanjut, Maman bilang, dalam titik yang ekstrem bukan tak mungkin persoalan ini bisa dibawa ke ranah arbitrase. Ia pun menekankan bahwa pemerintah tidak boleh kalah gertak jika ada perusahaan yang mengajak beradu ke arbitrase.

“Ekstremnya, dan kalau memang terpaksa naik sampai ke arbitrase, ya monggo. Saya pikir selama ini kita sering agak takut dan alergi kalau ada perusahaan-perusahaan ngajak tarung di arbitrase. Sudah saatnya sekarang kita yang nantangin, ini perlu juga test case. Apalagi isunya dugaan melakukan kerusakan lingkungan,” jelasnya.

Namun, di luar segala persoalan itu, Budi Gunadi Sadikin tetap yakin bahwa proses divestasi ini bisa selesai sebelum pergantian tahun. Ia juga menegaskan bahwa urusan Inalum hanya soal transaksi pembayaran, sedangkan persoalannya menjadi ranah Freeport dan lembaga lainnya.

“Iya, yang dalam wewenang kita itu hanya transaksi payment-nya saja, yang lainnya itu antara Freeport dan lembaga yang lainnya. Kalau kita sekarang posisinya sangat yakin bahwa bisa kita peroleh,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Narita Indrastiti