KONTAN.CO.ID - Pandemi korona dianggap sebagai salah satu pemantik terjadinya akselerasi penerapan digital ekonomi di Indonesia. Pemerintah pun mencatat setiap tahunnya pertumbuhan industri ekonomi digital mengalami peningkatan 40% dan selama pandemi kenaikan pembelian melalui e-commerce mengalami kenaikan penjualan sebanyak 26% per bulan yang setara Rp 36 triliun. Inilah yang membuat World Market Monitor memprediksi pada 2025 ekonomi digital akan menyumbang 9,5% PDB Indonesia. Hal tak mustahil mengingat pemerintah juga berfokus untuk menggerakkan sektor industri UMKM terjun ke ranah ekonomi digital. Namun, perkembangan ekonomi digital yang tidak cuma terjadi di Indonesia juga berimplikasi lahirnya konsensus internasional terkait pajak digital. Pajak ekonomi digital secara internasional sampai saat ini belum menemukan titik temu, padahal pajak ini sangat dibutuhkan mengingat harus ditetapkan
single tax international system agar setiap negara menyepakati pajak minimum dan juga adanya kepastian penghitungan pajak produk digital bagi para pengusaha.
Organization For Economic Cooperation and Development (OECD) menjadi katalisator untuk memformulasikan sistem perpajakan ekonomi digital internasional. Supaya berbagai negara mampu mencapai konsensus dalam penetapan pajak minimum, kepastian pajak digital, hingga mekanisme penyelesaian sengketa antara pemerintah dengan perusahaan maupun perusahaan dengan perusahaan terkait pajak digital yang akan diberlakukan. Sangat disayangkan, OECD belum mampu mencapai konsensus dari adanya kerangka kerja internasional tentang perpajakan ekonomi digital ini sendiri pada akhir 2020. Saat ini, OECD sedang memformulasikan model kebijakan baru berupa Model Rules for Reporting by Platform Operators with respect to Sellers in the
Sharing and Gig Economy (MRDP) yang akan diimplementasikan di seluruh negara G-20. Model kebijakan baru ini akan mewajibkan seluruh penawaran platform digital punya database informasi penghasilan dari berbagai pihak yang menawarkan jasa transportasi, akomodasi, media, hiburan, dan lainnya lewat platform untuk dilaporkan kepada otoritas pajak. Walaupun kebijakan terkait pajak digital secara internasional belum mencapai konsensus, beberapa negara di antaranya seperti Austria, Brazil, Ceko, Uni Eropa, India, Italia, Spanyol, Turki, Inggris, dan Indonesia telah menerapkan pajak digital sebagai tindakan sepihak. Indonesia menjadi salah satu negara yang menerapkan pajak langsung (pajak penghasilan) dan tidak langsung (pajak pertambahan nilai) yang ditargetkan pada ekonomi digital melalui UU No. 2 Tahun 2020. Pajak ekonomi digital di Indonesia diperuntukkan untuk para pengusaha asing, penyedia layanan dan platform e-commerce asing yang memperoleh pendapatan dari hasil transaksi digital para konsumen di Indonesia. Undang-undang tersebut diikuti oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020 yang dalam pasal 6 menyebut PPN yang wajib dipungut perusahaan 10%. Alasan Pemerintah Indonesia mengambil langkah sepihak penarikan pajak digital ini dikarenakan pertumbuhan ekonomi digital berkembang pesat selama pandemi dan menyentuh angka 25% sehingga dapat menjadi sumber pendapatan yang sangat potensial dan kian penting ke depannya. Selain itu, adanya kebijakan pajak digital ini dianggap sebagai langkah konkret pemerintah untuk menegakkan keadilan dalam sektor usaha dimana keadilan dapat terwujud dengan adanya penarikan pajak tidak hanya bagi para pengusaha konvensional, tetapi juga diterapkan bagi pengusaha dalam ranah digital. Tetapi, nampaknya langkah sepihak pemajakan digital yang dilakukan oleh Indonesia tidak disambut baik Amerika Serikat (AS). Hal ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah mengingat bahwa AS merupakan mitra dagang strategis Indonesia yang mempunyai pengaruh yang besar dalam ekspor impor industri dalam negeri.Ketika pandemi berlangsung, Amerika Serikat tetap menjadi negara pengimpor kopi dan perikanan terbesar dari Indonesia. Langkah sepihak Indonesia terkait pemajakan digital dianggap menjadi suatu kebijakan yang serius oleh Amerika Serikat. Negara ini lewat United States Trade Representative (USTR) telah melakukan investigasi terkait pemajakan terhadap transaksi digital atau
digital service tax (DST) yang tengah diformulasikan oleh Indonesia. Menurut laporan USTR pada 13 Januari 2021, USTR memiliki setidaknya tiga kekhawatiran terkait kebijakan pajak produk ekonomi digital.
Pertama, mendiskriminatifkan perusahaan asing dimana DST di Indonesia hanya berlaku untuk perdagangan secara digital yang dilakukan oleh subjek pajak non residen dan tidak berlaku untuk perusahaan Indonesia sehingga Amerika memiliki perspektif bahwa hal ini tidak menguntungkan bagi perusahaan Amerika Serikat yang meluaskan pasarnya di Indonesia.
Kedua, Indonesia tidak konsisten terhadap prinsip perpajakan internasional terutama pada penerapan pajak penghasilan (PPh), pajak transaksi elektronik (PTE), dan pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Inkonsisten menurut USTR mencakup pada prinsip bentuk usaha tetap, pajak berbasis pendapatan, hingga nanti berisiko muncul penarikan pajak berganda.
Ketiga, USTR mengkhawatirkan bahwa DST akan membebani atau membatasi perdagangan Amerika di Indonesia melalui tiga cara yaitu dengan menciptakan beban pajak tambahan untuk perusahaan Amerika, mengeluarkan sumber daya lebih besar untuk mematuhi pajak dan persyaratan pelaporan, dan mengenakan pajak berganda. Inilah yang membuat USTR terus melakukan investigasi dan terus melihat perkembangan implementasi pajak digital di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu celah kerugian bagi Indonesia apabila kebijakan penarikan pajak digital bertentangan dengan kebijakan Amerika Serikat. Melihat berbagai perdebatan terkait langkah sepihak Indonesia dalam pemajakan produk digital, hendaknya pemerintah melakukan evaluasi terhadap kebijakan penarikan pajak yang selama ini telah berjalan mengingat sampai saat ini OECD belum menetapkan
single tax international system. Kebijakan pemajakan secara sepihak di Indonesia yang sampai saat ini belum memiliki fungsi kontrol yang mampu untuk memantau pajak yang telah dibayarkan ke perusahaan mancanegara ditakutkan akan menimbulkan pajak berganda dan lahirnya ketidakpastian pemajakan.
Jika pemerintah Indonesia tetap bersikeras untuk mengimplementasikan kebijakan pemajakan produk digital ini secara sepihak, hendaknya, pemerintah mengadakan diskusi yang mengundang stakeholders dari berbagai negara. Ini sebagai bentuk transparansi kebijakan dan penjelasan lebih lanjut terkait pemajakan agar tidak terjadi multitafsir dan tuduhan diskriminatif sehingga eksternalitas negatif dari pemajakan produk digital di Indonesia dapat diminimalisasi. Penulis : Dyah Ayu Febriani Asisten Peneliti Indef Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti