Likuiditas bank bakal mengetat



JAKARTA. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memprediksi, di kuartal IV 2016, likuiditas perbankan sedikit mengetat. Penyebabnya adalah kredit yang cenderung naik, sementara dana simpanan tumbuh relatif lebih rendah.

Kepala Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Perbankan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Doddy Arifieanto mengatakan, ada dua skenario terkait dengan kondisi likuiditas bank di kuartal IV.

Pertama, ketika kredit bank dipacu sesuai rencana bisnis bank (RBB) di kala simpanan masyarakat tumbuh lambat. Adapun skenario kedua, kredit tetap tumbuh namun di bawah RBB. “Skenario pertama berpotensi menyebabkan likuiditas mengetat,” tutur Doddy kepada KONTAN, Kamis (22/9).


Berdasarkan data OJK, hingga Juli 2016, LDR tercatat sebesar 90,18%, naik 168 bps dari setahun lalu. Ini cenderung mendorong perbankan menerbitkan surat berharga untuk kebutuhan likuiditas. Namun, kondisinya bisa semakin rumit jika pemerintah juga jor-joran menerbitkan surat utang.

Untungnya, perbankan tak terlalu berambisi menggenjot kredit di paruh kedua ini. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon mengatakan, revisi RBB perbankan mengarah pada pertumbuhan kredit ke batas bawah target, yakni 10%.

Beberapa bank memang mencatatkan kenaikan rasio likuiditas, semisal Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang per Juli 2016, rasio LDR naik 6,67 bps menjadi 90%. “Likuiditas di kuartal IV sangat tergantung pada realisasi penyaluran kredit bank,” ujar Direktur Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah BRI Mohammad Irfan, Jumat (23/9).

Bank Negara Indonesia (BNI) juga mencatatkan kenaikan LDR sebesar 10,04 bps menjadi 97%. Panji Irawan, Direktur Tresuri BNI menyebut, BNI berharap beberapa relaksasi untuk menurunkan rasio likuiditas. Pertama, penurunan giro wajib minimum (GWM). Saat Maret 2016 lalu Bank Indonesia (BI) memangkas GWM dari 8% menjadi 6,5%, dana segar senilai Rp 60 triliun pun membanjiri perbankan.

Kedua, memasukkan pinjaman bilateral dalam salah satu perhitungan loan to funding ratio (LFR). “Diharapkan bisa mengimbangi kredit, tanpa harus bergantung pada DPK,” ujar Panji.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini