KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menatap tahun 2025, rasa-rasanya persoalan likuiditas ketat belum akan hilang di industri perbankan tanah air. Beberapa bos bank BUMN menilai tantangan ini masih akan membayangi. Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) Royke Tumilaar mengungkapkan bahwa salah satu penyebab likuiditas ketat datang dari sisi eksternal. Di mana, kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS bisa jadi menghambat penurunan suku bunga AS. Menurutnya, kemenangan Trump di AS akan dibayangi kebijakan tarif impor dan penurunan pajak. Alhasil, itu akan mendorong inflasi naik dan menyulitkan The Fed akan menurunkan suku bunga.
BBNI Chart by TradingView Dengan suku bunga yang tinggi, DPK tersebut cenderung keluar dari sistem perbankan dan beralih kepada instrumen-instrumen investasi pemerintah. Meski demikian, Royke yakin dengan kebijakan kondisi ekonomi sekarang ini diharapkan arah kebijakan pemerintah yang mendukung daya beli masyarakat dan fokus ke pertanian dan peningkatan investasi terjadi sinkronisasi antara moneter fiskal, sehingga policy pemerintah atau program bisa berjalan baik sesuai yang diharapkan. Baca Juga: BNI Jadi Satu-Satunya Bank BUMN yang Menjadi Kreditur Sritex Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Darmawan Junaidi juga menyoroti kondisi likuiditas tercatat tetap ketat di tengah penurunan suku bunga untuk mendorong biaya dana tetap tinggi. Alasannya, adanya Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang terus menawarkan yield tinggi. Alhasil, pasar kini memiliki pilihan bukan hanya menempatkan dana di produk perbankan yang konvensional, tapi lebih kepada yield yang dijanjikan lebih tinggi. "Sehingga, saat ini tren penurunan suku bunga tidak langsung diikuti oleh reaksi pasar karena masyarakat sudah melihat ada channel yang ekspektasi yield lebih tinggi, suku bunga tren turun tapi secara agregat biaya dana semua bank meningkat," ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor: Noverius Laoli