KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum lama ini, Presiden RI Joko Widodo sempat menyentil perbankan akibat aliran kredit yang dinilai kering. Orang nomor satu tersebut menilai ada kemungkinan perbankan lebih banyak menempatkan dananya di instrumen-instrumen investasi buatan Bank Indonesia (BI). Memang, penyaluran kredit perbankan belum begitu deras dengan mencapai pertumbuhan dua digit seperti yang digadang-gadang pada awal tahun ini. Per Oktober 2023, kredit perbankan baru mencapai pertumbuhan 8,99% secara tahunan (YoY) atau senilai Rp 6.903 triliun. Hanya saja, pertumbuhan kredit perbankan ini sudah membaik dari bulan-bulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit paling mini di tahun ini terjadi pada Juni 2023 yang hanya mencapai 7.76% YoY
Oleh karenanya, penempatan dana perbankan di Bank Indonesia (BI) toh nyatanya juga mengalami penyusutan. Secara agregat, data OJK mencatat total dana yang ditempatkan pada BI senilai Rp 915,87 triliun atau turun 6,82% secara tahunan (YoY). Baca Juga:
Rasio Kredit UMKM Baru 12%, Jokowi Dorong Pembiayaan Sektor Ini Dipermudah Penurunan kompak terjadi pada instrumen dalam bentuk Giro maupun Fine Tune Operation (FTO). Di sisi lain, instrumen dalam bentuk Fasbi mencatat kenaikan tipis 2,37% YoY menjadi Rp 129,79 triliun. Ekonom Universitas Bina Nusantara (Binus) Doddy Ariefianto mengungkapkan bahwa memang saat ini pertumbuhan kredit perbankan saat ini belum optimal. Ini tercermin dari rasio alat likuid yang dinilai agak tinggi. Sebagai informasi, rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) per Oktober ada di level 26,36%. Sementara, rasio alat likuid terhadap NCD di periode yang sama sekitar 117,29%. Hanya saja, Doddy mengingatkan bahwa bank tidak dipaksa untuk terus menyalurkan kredit. Menurutnya, bank juga sudah melihat prospek pertumbuhan ekonomi saat ini yang membuatnya menahan dalam penyaluran kredit. “Jadi sama aja ngajarin ikan berenang kalau dipaksa menyalurkan kredit,” ujarnya, Kamis (7/12). Ia pun menilai wajar jika bank menempatkan dananya di beberapa instrumen seperti ditempatkan di BI jika ada likuiditas yang menganggur. Menurutnya, itu tergantung preferensi dari masing-masing bank. “Tapi sekarang kelihatannya likuiditasnya sudah mulai berkurang,” ujarnya. Baca Juga:
Bank Mandiri akan Konsisten Dorong Pembiayaan Keberlanjutan dan Pembiayaan Hijau Di sisi lain, BI juga sudah menyiapkan beberapa kebijakan insentif jika likuiditas perbankan mulai menyusut. Dalam hal ini, adanya penurunan rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) mulai Desember 2023 yang akan menambah fleksibilitas likuiditas sebesar Rp 81 triliun. BI pun mengingatkan bahwa insentif tersebut agar bisa dimanfaatkan oleh perbankan untuk menyalurkan kredit dan menjaga stabilitas sistem keuangan tanah air. EvP Treasury Division Head PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Sindhu Rahardian bilang bahwa langkah BI tersebut akan berdampak positif pada alat likuid yang dapat dijaga oleh bank, sehingga akan menambah rasio AL/DPK. “Tapi itu relatif kurang berdampak signifikan,” ujarnya.
Ia bilang saat ini yang dibutuhkan bank untuk menjaga likuiditasnya adalah relaksasi ketentuan minimum GWM primer dari rata-rata DPK per periode atau kebijakan insentif GWM primer yang lebih besar lagi bagi bank yang telah mendukung pertumbuhan kredit di sektor prioritas. Sementara itu, Direktur Treasury PT Bank CIMB Niaga Tbk John Simon bilang bahwa saat ini pihaknya terus menjaga agar penempatan likuiditas yang dimiliki seimbang. Di mana, dana untuk penyaluran kredit selalu dijaga. “Kita akan atur supaya balance,” ujar Simon. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari