Likuiditas perbankan Eropa seret, aktivitas perdagangan di Asia terancam



TOKYO. Asian Development Bank (ADB) bersiap diri bakal mendapatkan lonjakan permintaan pembiayaan ekspor dan impor. Lantaran, aliran dana dari bank-bank Eropa yang biasa melayani pinjaman di Asia bakal makin seret. Perbankan Eropa bakal lebih memilih tingkatkan rasio modal perusahaan akibat krisis utang di zona euro yang masih berlanjut. ADB sudah menggelar program pembiayaan ekspor dan impor untuk menutupi gap antara permintaan dan penawaran pembiayaan. Namun, dengan likuiditas beberapa bank Eropa besar yang keluar dari Asia, gap ini saya lihat akan meningkat," ujar Steve Beck Kepala Unit Kredit dan Pinjaman Ekspor Impor dari ADB di Manila. "Keluarnya likuiditas perbankan Eropa dari Asia itulah yang menjadikan volatilitas mata uang di Asia," kata Iwan Aziz, Kepala Integrasi Regional ADB. Tanda adanya tekanan ekonomi juga terlihat dari meningkatnya perusahaan yang menolak melakukan ekspor impor jika tidak ada bank yang bersedia menggaransi pembayaran produk mereka. "Banyak pelaku industri yang memprediksi krisis kali ini akan lebih hebat dari 2008," ujar Beck.Mundurnya beberapa perbankan besar asal Eropa dalam pembiayaan ekspor impor ini membuka celah bagi beberapa perbankan Asia dan AS maupun bank Eropa lainnya untuk menggarap potensi pasar ini. "Mereka bisa memberikan bunga pinjaman yang lebih tinggi kepada kreditur," ujar Richard Jerram, Ekonom Bank of Singapore Ltd. Beberapa bank yang akan ketiban berkah dalam kondisi ini sebut saja HSBC Holdings Plc., Standard Chartered Plc. Menurut analis Barclays Capital, perbankan asal Inggris yang banyak beroperasi di Asia ini bakal mendapatkan keuntungan paling besar. Selain itu Mitsubishi UFJ Financial Group Inc. of Japan, Australia & New Zealand Banking Group Ltd. (ANZ), DBS Group Holdings Ltd. asal Singapura dan Mega Financial Holding Co., asal Taiwan juga bakal mendapat berkah dalam kondisi ini. Meski beberapa bank akan masuk, tak ada keraguan bahwa bunga pembiayaan tetap akan meningkat.Laporan ADB juga menyebutkan, ekonomi Asia menghadapi risiko penurunan yang lebih besar karena resesi di AS dan Eropa membuat arus modal tidak stabil. Tahun depan, prediksi pertumbuhan di Asia Timur hanya 7,2%, turun dari tahun ini yang sebesar 7,5%. Perlambatan ekonomi di Asia sejatinya telah terlihat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara seperti China, Jepang dan Korea Selatan. Lebih parah bagi negara seperti Thailand yang separuh GDP negara dari aktivitas ekspor. Menurut Bank Dunia, kredit outstanding dari perbankan Eropa di negara berkembang sebesar US$ 427 miliar per Juni 2011. Malaysia memiliki pinjaman lebih dari 25% dari GDP negara. Sementara Indonesia, Thailand, Filipina dan Vietnam rata-rata memiliki exposure sekitar 7%-11% dari GDP. Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), mengatakan, hingga akhir tahun ini iklim bisnis masih relatif stabil, karena seluruh kontrak sudah habis pada akhir bulan. "Tapi kami khawatir di 2012 keadaan akan makin sulit. Tidak akan mudah mendapatkan pembiayaan di 2012," ujar Sofjan.


Editor: Rizki Caturini