Likuiditas perbankan masih rentan



Jakarta. Tali pengikat yang selama setahun terakhir membelit tubuh perbankan agaknya mulai sedikit renggang. Alhasil, bak aliran darah, sirkulasi dana di tubuh perbankan pun mulai mengalir lancar.

Sejak Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan BI rate medio tahun lalu, likuiditas di perbankan memang terasa ketat. Untuk mengamankan likuiditas, bank saling berebut dana pihak ketiga (DPK). Bahkan, perbankan rela jorjoran mengerek suku bunga deposito demi memenangkan persaingan penghimpunan dana.

Meski menawarkan suku bunga deposito nan mekar, tak mudah bagi bank menarik duit masyarakat. Itu sebabnya, pertumbuhan penghimpunan DPK di perbankan tahun ini ber jalan lambat. Per Juli lalu, total DPK hanya tumbuh 11,36% dibandingkan dengan periode sama tahun 2013. Pertumbuhan DPK pada Juli lalu itu lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan DPK per Juni 2014 yang secara tahunan (year on year) masih meningkat 13,63%.


Namun, BI menilai, perlambatan pertumbuhan DPK pada Juli lalu hanya bersifat sementara. Halim Alamsyah, Deputi Gubernur BI, bilang, pertumbuhan DPK pada Juli 2014 melambat lantaran permintaan uang kartal tinggi dalam rangka menyambut Hari Raya Lebaran. Ia memperkirakan, pertumbuhan DPK akan kembali meningkat pasca Lebaran.

Buktinya, berdasarkan hasil pengawasan BI, kondisi likuiditas perbankan pasca Lebaran menunjukkan sinyal positif. Halim mengatakan, risiko likuiditas perbankan diperkirakan akan terus membaik hingga akhir tahun ini. Selain aliran masuk uang kartal ke sistem perbankan pasca Lebaran, perbaikan likuiditas didukung penyerapan belanja pemerintah yang semakin ekspansif.

Seperti biasa, penyerapan anggaran belanja pemerintah saban tahun baru mulai kencang pada kuartal III dan kuartal IV. Karena itu, BI memperkirakan, realisasi belanja pemerintah di akhir tahun ini akan mendorong likuiditas bank terus membaik.

Untuk mengukur kondisi likuiditas ke depan, BI menggelar stress test menggunakan skenario pertumbuhan kredit sebesar 17%, pembalikan modal alias capital reversal, dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Hasilnya, “Rasio likuiditas perbankan di 2014 diperkirakan masih di atas batas aman,” kata Halim.

Hasil pengawasan BI itu tampaknya tak jauh berbeda dengan evaluasi perkembangan dan profil risiko industri keuangan bulan September 2014 yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lucky F.A. Hadibrata, Deputi Komisioner Manajemen Strategis IB OJK, bilang, risiko likuiditas bank dalam kondisi stabil dengan tingkat risiko relatif rendah. Berdasarkan pantauan OJK, alat likuid di perbankan cukup memadai untuk mengantisipasi potensi penarikan DPK.

Belum normal

Meski begitu, OJK menilai, bank masih menghadapi peningkatan risiko likuiditas. Risiko tersebut berasal dari peningkatan rasio kredit terhadap simpanan alias loan to deposit ratio (LDR).

Maklum, sejak setahun terakhir, LDR terus meningkat. Mengutip data OJK, LDR per Juli 2014 sebesar 92,19%. “Peningkatan risiko likuiditas juga berasal dari ketergantungan bank terhadap pendanaan non-inti serta rasio deposan inti yang masih tinggi,” kata Lucky.

Presiden Direktur Bank OCBC NISP Parwati Surdjaudaja menilai, kondisi likuiditas di perbankan saat ini memang sedikit lebih longgar ketimbang pertengahan tahun ini. Namun, lanjut dia, likuiditas sebenarnya masih ketat. “Kondisi ini akan bertahan hingga akhir tahun,” timpal Bianto Surodjo, Direktur Bank Permata.

Doddy Ariefianto, Kepala Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Keuangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), menilai, kondisi likuiditas perbankan saat ini lebih baik ketimbang kuartal I dan kuartal II–2014. Selama paruh pertama 2014, likuiditas ketat akibat duit pemerintah tidak mengucur ke perekonomian seiring rendahnya penyerapan anggaran. Bank juga masih berencana menyalurkan kredit secara ekspansif.

Senada dengan BI, Doddy memperkirakan, realisasi belanja pemerintah di semester II akan memompa likuiditas perbankan. Selain itu, likuiditas bank juga akan lebih longgar dengan masuknya dana asing yang cukup signifikan.

Likuiditas juga lebih longgar lantaran perbankan pada semester II ini tidak lagi menggenjot ekspansi kredit. Maklum, pada Agustus lalu, OJK merevisi rencana bisnis bank (RBB) tahun 2014. Dalam revisi tersebut, OJK memangkas target pertumbuhan kredit dari 17,35% menjadi 16,47%. Dengan begitu, menurut Doddy, bank tidak lagi perlu agresif berburu DPK sehingga persaingan suku bunga deposito tidak lagi sengit.

Namun, Doddy mengingatkan, meski lebih baik dibanding dengan semester I 2014, kondisi likuiditas hingga akhir tahun ini dan pada tahun depan belum akan kembali normal seperti tahun 2012 dan awal 2013 lalu. Walau perubahan suku bunga relatif stabil, “Suku bunga kredit belum bisa single digit seperti tahun 2012,” katanya.

Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, menambahkan, likuiditas hingga akhir tahun dan tahun depan belum akan selonggar tahun 2012. Sebab, pertumbuhan kredit masih lebih cepat ketimbang pertumbuhan DPK. Karena itu, potensi perebutan dana masih bisa terjadi pada tahun depan.

Selain itu, rencana bank sentral Amerika Serikat (The Federeal Reserve) menaikkan bunga akan mengurangi dana asing yang masuk ke Indonesia. Malah, ada risiko pembalikan arus dana asing yang pulang kandang.

Karena itu, Destry menyarankan, bank jangan terlalu agresif menyalurkan kredit. Selain itu, bank harus menggali pendanaan di luar DPK. Dalam jangka panjang, industri perbankan melakukan konsolidasi agar kemampuan permodalan dan pendanaannya lebih kuat.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 51 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander