Likuiditas seret, perbankan dipaksa putar otak



JAKARTA. Industri perbankan tanah air tengah kekeringan pasokan simpanan nasabah. Laporan Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia(BI) per November 2012 menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada industri keuangan. Di mana pada Agustus lalu, DPK tumbuh sebesar 21,3% namun pada September malah terjadi pelemahan menjadi 19,8%. Perlambatan dikontribusi oleh giro dan deposito yang memiliki tren melambat di tengah pertumbuhan tabungan yang relatif stabil. Pertumbuhan DPK ini juga kalah dibandingkan pertumbuhan kredit yang masih sesuai dengan target. Per September lalu, rasio pertumbuhan kredit sektor keuangan mencapai 22,9%. Kontribusi paling signifikan berasal dari kredit investasi, di mana kredit modal kerja cenderung melemah dan kredit konsumsi stabil.

Pelemahan ini pun diakui beberapa bank nasional. Untuk mengatasi pelannya laju DPK yang di bawah kredit, perbankan menggunakan trik-trik tertentu. Salah satunya dilakukan oleh PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).

Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Zulkifli Zaini menjelaskan, Mandiri akan mendorong pertumbuhan DPK melalui penambahan cabang dan fasilitas penunjang lainnya. "Agar DPK ke depan naik, selain menambah kantor cabang kami akan memperbanyak konter ATM," ungkapnya. Di Mandiri sendiri, pertumbuhan DPK pada kuartal ketiga 2012 hanya 14% dan angka ini jauh dibandingkan pertumbuhan kreditnya yang mencapai 23%. Nah, untuk memperkuat likuiditas setelah pertumbuhan kredit yang lebih tinggi dibandingkan DPK, Mandiri juga memberikan opsi lain seperti penerbitan obligasi. "Kami melihat ada kebutuhan untuk menerbitkan obligasi atau subdebt," ujar Zulkfli.


Obligasi jadi opsi

Pada periode yang sama, seretnya likuiditas DPK juga dialami oleh PT Bank Internasional Indonesia Tbk (BNII). Direktur Global Wholesale Banking BII, Rahardja Alimhamza, mencatat pertumbuhan DPK BII hanya 20% saat kredit naik 22%.

Ia berkilah, pertumbuhan kredit biasanya memang lebih cepat dibandingkan DPK. Namun jika tidak ada kebijakan menyeimbangkan antara DPK dan penyaluran kredit, hal itu bisa berimbas negatif pada pendanaan yang berdampak pada penetapan rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR).

“Ada sedikit yang harus diperhatikan. Pinjaman dalam jumlah besar biasanya memiliki tenor yang panjang. Masalahnya, umur DPK biasanya jauh lebih pendek. Oleh sebab itu penerbitan obligasi atau subdebt menjadi salah satu alternatif paling efisien,” jelasnya.

Menempuh strategi yang sama dengan Bank Mandiri, PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga memilih untuk membuka kantor kecil seperti kios dan kantor kas di daerah untuk menggenjot peningkatan DPK.

"Tahun depan kantor kecil baru yang kami rencanakan sebanyak 130 unit, sehingga total untuk tahun depan mudah-mudahan bisa capai 400 kantor kecil," kata Direktur Utama BTN Iqbal Latanro. Selain itu, untuk menambah modal, bank pelat merah ini juga melakukan penawaran saham kedua atau right issue. Nasib yang kurang baik malah hadapi oleh PT Bank Mega Tbk (MEGA). Bank milik taipan terkenal yakni Chairul Tanjung tersebut hanya mencatat kenaikan DPK sebesar 5%, padahal target bank mencapai 20%. Direktur Utama Bank Mega JB Kendaro beralasan, perlambatan DPK ini terjadi karena adanya perdagangan defisit di mana impor jauh lebih tinggi dibandingkan ekspor yang akhirnya membuat dana berkurang.

"Persaingan juga semakin kritis untuk memperebutkan funding tersebut," ujarnya. Sedangkan peminat terbesar DPK adalah para deposan yang berarti banyak menguras cost of fund bank. Meski begitu, bank Mega belum memiliki beberapa opsi untuk menggenjot likuiditas dari masyarakat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: