KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Likuiditas valuta asing (valas) di perbankan semakin seret. Sementara kebutuhan pembiayaan valas semakin meningkat di tengah pertumbuhan perdagangan impor di Tanah Air seiring pemulihan situasi ekonomi. Berdasarkan data LPS, Dana Pihak Ketiga (DPK) valuta asing (valas) per Juli 2022 mencapai Rp 1.022 triliun atau tumbuh 7,4% secara
year on year (YoY) dan hanya naik 0,29% dari akhir tahun lalu (year to date/YtD). DPK valas per Juli terdiri dari giro valas Rp 544 triliun atau naik 11,7% secara tahunan, tabungan valas Rp 186 triliun atau naik 19,2% YoY dan deposito valas 291 triliun atau turun 5,5% YoY.
Jumlah nominal DPK valas pada bulan tersebut turun 0,58% dari bulan Juni yang tercatat sebesar Rp 1.028 triliun. Namun secar laju pertumbuhan, DPK valas per Juni masih tumbuh lebih tinggi karena pada bulan Juni pertumbuhannya hanya 7,08% secara tahunan.
Baca Juga: Ini Bank-Bank yang Raup Pendapatan Terbesar dari Layanan BI-Fast Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas, Aviliani mengatakan, likuiditas valas mulai seret karena Bank Indonesia (BI) lebih lambat menaikkan suku bunga dari The Fed. Sehingga saat Fed rate naik, investor mencari suku bunga terbaik, sehingga terjadi banyak arus modal keluar saat itu. Selain itu, katanya, saat awal The Fed menaikkan suku bunga, kebutuhan investasi di Tanah Air belum banyak. Namun, sekarang yang terjadi di luar dugaan. "Ekspor kita meningkat dan impor juga naik. Sehingga dibutuhkan dana valas untuk kegiatan impor dan investasi. Inilah yang menyebabkan terjadinya
shorted valas secara tiba-tiba, hal yang tidak terjadi selama dia tahun terakhir," terang Aviliani dalam paparan virtualnya dikutip, Senin (12/9). Meskipun BI sudah menaikkan bunga acuannya sebesar 25 basis point (bps), namun di AS suku bunganya masih cukup tinggi. Oleh karena itu, Aviliani mengatakan, Indonesia harus melakukan berbagai cara untuk menarik kembali arus modal yang keluar (
capital outflow). Potensi penurunan likuditas valas masih akan besar karena bank sentra Eropa (ECB) juga telah memutuskan menaikkan suku bunga. Perebutan likuditas valas di seluruh dunia akan semakin tinggi. Sedangkan di dalam negeri, pertumbuhan kredit valas semakin tinggi. "Pertumbuhan kredit valas sudah hampir 11%, lebih tinggi dari kredit rupiah yang mencapai sekitar 9%. Ini menunjukkan bahwa sudah banyak perusahaan yang investasi," lanjutnya. Ia melihat kebutuhan valas akan semakin meningkat di sektor pertambangan dan data center. Di tengah perkembangan digitalisasi, investasi data center mulai banyak dilakukan dan itu membutuhkan dana valas yang besar.
Baca Juga: GWM Naik, Pertumbuhan DPK Perbankan Melambat Untuk menarik kembali dana asing, BI telah mengambil langkah dengan menjual surat utang jangka pendek dengan
yield yang lebih tinggi dan membeli surat utang jangka panjang. Namun, Aviliani menilai langkah itu hanya berdampak jangka pendek.
Menurutnya, untuk menjaga likuiditas valas secara berkelanjutan, langkah paling tepat yang harus dilakukan BI adalah membuka kembali relaksasi aturan terkait dengan denda devisa hasil ekspor (DHE). "Untuk jangka panjang, yang paling bagus terkait DHE ini karena dengan itu bisa diprediksi kapan kebutuhan impor dan kapan kebutuhan ekspor. Kebijakan DHE ini perlu ditegakkan kembali tetapi mungkin harus lebih
friendly sehingga orang tidak ketakutan uang mereka di Indonesia," kata Aviliani. Dari sisi pemerintah, kebijakan menerbitkan global bond dinilai Aviliani sudah tepat untuk menarik kembali investor masuk. "Penerbitan global bond ini adalah salah satu yang bisa membantu likuiditas valas di dalam negeri." pungkasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari