Lima catatan ekonomi Jakarta dari PAN



JAKARTA. Kendati Pilkada DKI Jakarta baru digelar setahun lagi, suhu persaingannya sudah terasa panas sejak awal tahun ini. Namun sejauh ini dinamika yang berkembang lebih mengarah pada aspek politis.  Berkutat pada pro-kontra calon independen, hingga idiom deparpolisasi.

Sayang urusan mendasar dan lebih penting, misalnya mencari model pembangunan ekonomi Jakarta yang berkelanjutan, justru kurang diperhatikan.  Sebab ekonomi Jakarta sangat krusial bagi Indonesia. Bukan saja karena berstatus Ibukota Negera. Lebih  jauh lagi, Jakarta adalah episentrum ekonomi Indonesia.

Perputaran uang di Jakarta menguasai 60%-70% dari total transaksi di Tanah Air. Bank Indonesia mencatat, per April 2015, penyaluran kredit perbankan di Jakarta menyumbang sekitar 32% dengan nilai Rp 1.201 triliun dari total kredit sekitar Rp 3.700 triliun secara nasional.


Sekjen PAN Eddy Soeparno menilai banyak kebijakan ekonomi di Jakarta saat ini yang perlu dikritisi. Antara lain pembangunan infrastruktur dan penyediaan pasar bagi pengusaha kecil dan menengah. "Ini catatan saya bagi gubernur Jakarta saat ini maupun gubernur yang akan terpilih nanti," kata Eddy Soeparno, dalam diskusi media, Senin (21/3). 

Pertama, konsentrasi pembangunan Jakarta saat ini lebih mengarah pada pembangunan infrastruktur. Proyek MRT, LRT, fly over TransJakarta, sodetan Ciliwung dll. Program pembangunan ini memang sangat penting karena bertujuan menciptakan kemudahan akses, fasilitas publik dan kenyamanan  lingkungan. Namun pengerjaannya tidak boleh menghabiskan seluruh konsentrasi dan fokus  pemerintah daerah. Pembangunan infrastruktur dasar juga harus diimbangi dengan infrastruktur pendukung, termasuk pembangunan infrastruktur yang berkaitan langsung dengan aktivitas  ekonomi masyarakat.

Kedua, pembangunan pasar dan kawasan-kawasan ekonomi untuk pedagang dan rakyat kecil harus mendapat perhatian lebih serius. Saat ini, dari 11 pasar yang akan diperbaiki (lima di antaranya dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo sewaktu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta pada awal tahun 2014), baru tuntas satu pasar. 

Selebihnya masih belum terselesaikan. Kehadiran pasar yang representatif dan layak menjadi basis penguatan ekonomi rakyat DKI  Jakarta. Sebab, Jakarta tidak mempunyai lahan areal persawahan, perkebunan, pertambangan,peternakan. Alhasil, ekonomi rakyat bertumpu pada sektor jasa, perdagangan dan kelautan. Selain sarana transaksi, pasar tradisional terutama di kota-kota besar juga harus memberi ruang  publik lebih besar sebagai sarana berinteraksi dan bersosialisasi, bahkan jika perlu selama 24 jam  non-stop. Saat ini sulit mencari tempat kongkow bagi masyarakat bawah, karena area  bersosialisasi dan interaksi lebih menopang kalangan menengah atas (hotel, mal, kafe dan bar).

Ketiga, penataan dan pengembalian fungsi pasar yang pernah digalakkan oleh Gubernur DKI Jakarta sebelumnya, belum berjalan berkesinambungan dengan saat ini. Maka tidak mengherankan, penertiban kawasan Pasar Tanah Abang, penertiban pedagangan kaki lima di pinggir jalan, menjadi tampak sia-sia. Saat ini mereka kembali tumpah ruah memenuhi bibir jalan dan memicu kesemrawutan lagi. 

Model pendekatan pembenahan maupun revitalisasi pasar rakyat juga masih lebih berfokus pada pembenahan fisik. Upaya peningkatan inklusi dan literasi keuangan masyarakat dan softskill pengusaha UKM Jakarta belum tampak. Peningkatan aspek pembenahan manajemen usaha  kecil, perbaikan sistem ekonomi rakyat berbasis teknologi informasi belum tergarap. 

Sejauh ini pedagang kecil, pedagang kaki lima, relatif masih sebagai objek belum diangkat sebagai subjek dalam pembangunan ekonomi Jakarta. Perlu terobosan, selain membangun fisik pasar, juga menciptakan format baru Pasar Pintar (M-Smart), yakni penggunaan teknologi informasi sebagai sistem transaksi pedagang kecil.

Keempat, selama ini tidak tampak gereget untuk membangun ekonomi berbasis kelautan di Jakarta. Padahal potensi ekonomi Kepulauan Seribu besar. Baik untuk kawasan wisata, perikanan, pertambakan maupun budidaya rumput laut. Perlu dikembangkan lebih jauh konsep/model pengembangan ekonomi berbasis maritime di Jakarta.

Kelima, belum tampak upaya pengembangan ekonomi kreatif, termasuk pengembangan ekonomi kreatif berbasis teknologi informasi. Fenomena yang terjadi, Jakarta “sebatas” sebagai  pasar produk ekonomi kreatif dan tempat ngantor perusahaan berbasis ekonomi kreatif dan IT. Trend an perkembangan bisnis yang mengarah pada digitalisasi bisnis, tidak diimbangi dengan kesiapan regulasi, sistem dan infrastruktur pendukung pengembangan ekonomi tersebut di Jakarta.  

Sampai saat ini belum pernah terdengar visi Jakarta sebagai Smart City. Sementara Bandung dan Yogyakarta bisa lebih cerdik menangkap peluang tersebut dengan menyiapkan Silicon Valey Bandung, maupun Yogya Techno Park.

Tidak mengherankan, persoalan benturan antar pelaku bisnis, misalnya pengusaha transportasi konvensional (taksi, ojek dll) versus pengusaha berbasis aplikasi internet, selalu terjadi. Terlepas bahwa persoalan tersebut menjadi domain pemerintah pusat, setidaknya  benturan tersebut bisa dikurangi jika Jakarta sudah memiliki konsep dan regulasi yang matang untuk mengantisipasi perubahan tersebut. Jakarta punya peluang lebih besar untuk mengembangkan industri jasa berbasis IT itu. 

Misalnya mengembangkan wilayah khusus sebagai Sillicon Valley Jakarta. Bisa saja di kawasan seputar  Slipi Jakarta dikembangkan sebagai basis area industri IT dan ekonomi kreatif berbasis internet menjadi Slipicon Valley. Menjadi terobosan besar jika Jakarta mengembangkannya menjadi  Slipicon Valley untuk mendukung wilayah ini sebagai basis pengembangan ekonomi kreatif berbasis IT.

Catatan KONTAN, sejumalah perusahaan berbasis IT nongkrong di Slipi, mulai dari Jakarta Disain Center hingga Taman Anggrek. Traveloka dan Tokopedia, misalnya berada di Wisma 77 Tower II. Selain itu, masih ada belasan startup beken yang berada di kawasan ini. Di antaranya Bilna, Berrybenka,Scoop, Kurio, Appota, dan media Tech in Asia. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Umar Idris