JAKARTA. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang media yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) Selasa siang, 18 Oktober 2011, mengajukan permohonan Uji Materi atas tafsir Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 dan uji materi pasal-pasal tersebut terhadap Pasal-pasal 28 D, 28 F dan 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Sekretaris KIDP Ahmad Faisol mengatakan, Mahkamah Konstitusi telah menerima nomor tanda terima pengajuan perkara 382/PAN.MK/X/2011. "Nomor perkara akan diberikan pekan depan sebelum akan bersidang," kata Faisol kepada KONTAN, usai mendaftarkan perkara ini ke MK, Selasa (18/10). Upaya hukum ini ditempuh oleh KIDP menyusul penafsiran sepihak oleh badan hukum/perseorangan terhadap Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, demi kepentingan dan keuntungan sekelompok pemodal atau orang tertentu saja. Akibat penafsiran sepihak dua pasal tersebut, telah muncul masalah pemusatan kepemilikan stasiun penyiaran televisi dan radio di tangan segelintir pengusaha dan praktik jual-beli izin prinsipal penyiaran termasuk frekuensi penyiaran dengan dalih perpindahan atau penjualan saham usaha penyiaran.
KIDP berpendapat, penyiaran adalah suatu usaha yang mempergunakan frekuensi yang tergolong sebagai sumber daya alam terbatas dan seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. "Namun, saat ini terjadi praktik jual-beli frekuensi penyiaran dan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran, termasuk penguasaan opini publik, aset-aset ekonomi penyiaran, yang berpotensi membatasi, mengurangi hak warga negara dalam menyatakan pendapat, memperoleh informasi, dan hak berekspresi, yang bertentangan dengan tujuan Konstitusi," kata Eko Maryadi, Koordinator KIDP. Dalam siaran persnya, KIDP memberi contoh dominasi dan pemusatan kepemilikan oleh badan hukum penyiaran.
Pertama, pemberian, penjualan, dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Visi Media Asia Tbk yang menguasai PT. Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT. Lativi Media Karya (TVOne) yang terjadi sekitar Februari 2011.
Kedua, pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Elang Mahkota Teknologi (Emtek) Tbk yang menguasai PT. Indosiar Karya Media yang memiliki PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) dan menguasai PT. Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang memiliki PT. Surya Citra Televisi (SCTV), yang dilakukan sekitar Juni 2011.
Ketiga, pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Media Nusantara Citra Tbk yang menguasai/memiliki PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI/MNC TV), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Global Informasi Bermutu (Global TV), yang dilakukan sekitar Juni 2007. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menilai Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi (
the guardian of constitution) dapat membatalkan keberadaan UU secara menyeluruh ataupun per pasalnya jika bertentangan dengan konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi (MK) juga berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan di dalam pasal sebuah Undang Undang agar berkesesuaian agar sesuai dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal di undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (
the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan uji materil ini diajukan oleh lima anggota KIDP yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) Media Link, Yayasan 28, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Para pemohon ini mengajukan lima permohonan sebagai berikut kepada Mahkamah Konstitusi:
Pertama, mengabulkan seluruh permohonan Para Pemohon.
Kedua, menyatakan tafsir sepihak pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 Penyiaran adalah inkonstitusional.
Ketiga, menyatakan Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran konstitutional sepanjang ditafsirkan sebagai berikut : a. Pasal 18 ayat (1) UU Penyiaran selain yang tersebut di dalam UU penyiaran. Harus ditafsirkan: “satu badan hukum apapun di tingkat manapun atau perseorangan, tidak boleh memiliki lebih dari 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 1 (satu) provinsi.”
b. Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, harus ditafsirkan: "bahwa segala bentuk pemindahtanganan IPP dan penguasaan/kepemilikan lembaga penyiaran dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat manapun bertentangan dengan UU Penyiaran."
Keempat, memperingatkan seluruh lembaga penyiaran di Indonesia agar menaati peraturan yang berlaku, tidak membuat tafsir atas Undang Undang yang melanggar hukum dan menjauhi bisnis penyiaran yang merugikan kepentingan negara dan masyarakat.
Kelima, meminta pemerintah dan regulator penyiaran agar mengambil tindakan tegas dan adil untuk menghentikan praktik pelanggaran UU Penyiaran dan pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran yang melanggar aturan, sebelum menghadapi tuntutan hukum masyarakat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Umar Idris