Lima masalah yang bakal mengganjal target penerimaan pajak 2020



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memasang target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.861,8 triliun dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2020. Target tersebut lebih tinggi 13,3% dari proyeksi (outlook) penerimaan perpajakan pada tahun ini yang sebesar Rp 1.643,1 triliun.

Sementara itu, rasio pajak ditargetkan mencapai 11,5% terhadap PDB pada tahun depan. Ini juga lebih tinggi dibandingkan outlook capaian tax ratio 2019 yang sebesar 11,1%.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, target pertumbuhan penerimaan perpajakan tahun 2020 terlalu optimistis.


Baca Juga: Tax ratio stagnan, pemerintah diminta kaji lagi insentif perpajakan

“Padahal pada outlook 2019, target pertumbuhan penerimaan perpajakan hanya tumbuh 8,18% atau sesuai dengan pertumbuhan natural perpajakan,” ujar Huda, Selasa (27/8).

Sementara, menurutnya ada lima permasalahan utama yang menghambat tercapainya target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2020.

Pertama, program perpajakan semakin tidak efektif terlihat dari pertumbuhan penerimaan hingga masa pelaporan surat pemberitahuan tahunan (SPT) di bulan April yang justru melambat.

Baca Juga: Kemenkeu gelontorkan Rp 23 miliar untuk bayar premi asuransi barang milik negara

Huda mencatat, dari program SPT tahunan tahun ini pertumbuhan penerimaan pajak hanya 1,02%, jomplang dengan penerimaan perpajakan pada masa SPT pada 2017 yang mencapai 19,22% maupun pada 2018 sebesar 10,89%.

Kedua, Huda memandang, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) perpajakan masih sangat kurang. Rasio SDM perpajakan dengan jumlah penduduk di Indonesia sebesar 1:5.923 penduduk.

Jika diperbandingkan dengan jumlah wajib pajak (WP) juga masih rendah yaitu 1:936 WP. Artinya, beban SDM perpajakan masih sangat tinggi kendati sudah muncul bantuan teknologi dan aplikasi online yang melayani jasa perpajakan.

Baca Juga: Gali potensi pajak, DPR minta pemerintah maksimalkan akses data keuangan dan AEoI

Ketiga, tingkat kepatuhan WP makin merosot. “Hingga Juni 2019, tingkat kepatuhan hanya 67,4%. turun dari 72,6% pada tahun 2017 dan 71,1% pada 2018. Padahal jumlah WP terus bertambah. Ini menunjukkan basis data yang kurang bagus dari otoritas perpajakan,” tutur Huda.

Dua masalah terakhir menyangkut kebijakan insentif perpajakan pemerintah yang dinilai tidak efektif. Antara lain, kebijakan yang terlampau pro-pebisnis serta relaksasi fiskal yang inefisien.

Wacana penurunan tarif PPh Badan, misalnya, dipandang tidak terlalu efektif karena hubungan dengan penerimaan pajak yang inselastis. Artinya, penurunan tarif tidak serta merta efektif meningkatkan penerimaan perpajakan.

Baca Juga: DPR kritik tax ratio yang stagnan, simak pejelasan Sri Mulyani

Selain itu, besaran belanja pajak cenderung meningkat sejak 2016 hingga 2018 mencapai Rp 221,1 triliun. Namun, belanja pajak ini belum mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi ke atas 5% dan belum mampu mendorong sektor manufaktur yang juga masih tumbuh lebih lambat daripada perekonomian nasional.

“Artinya insentif fiskal yang sebegitu besar tidak efektif dan cenderung dinikmati golongan tertentu,” tandas Huda.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto