JAKARTA. Nama Indonesia makin santer saja di dunia internasional. Belum lama ini lima perusahaan lokal menembus daftar The World Economic Forum\'s Community of Global Growth Companies (GGC) 2011. Di antaranya Sintesa Grup (PT Widjajatunggal Sejahtera), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Dexa Medica, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), dan PT Indika Energy Tbk (INDY). Kelimanya diproyeksikan sebagai pemimpin industri yang bisa mendorong perubahan ekonomi dan sosial. Bagi Sintesa Grup, pencapaian tersebut menunjukkan adanya kesempatan perusahaan lokal berkompetisi di skala global. Sehingga, sangat penting menjaga dan meningkatkan kualitas produk agar sukses bersaing. Direktur Pengelola Sintesa Grup, Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, kunci sukses bersaing di global tidak mesti dengan berinvestasi di negara lain. "Bukan berarti harus bangun cabang di asing, berkompetisi dengan perusahaan asing dan lokal di negara sendiri saja sudah jadi kunci," papar Shinta kepada KONTAN, Senin (19/9). Sebagai catatan, patokan masuk GGC antara lain pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten rata-rata sebesar 15% per tahun. Adapun pengembalian modal (turn over) antara US$ 100 juta hingga US$ 5 miliar sesuai industri. Sintesa saat ini memayungi 17 perusahaan yang terbagi dalam empat bidang. Yaitu produk konsumen, energi, industrial, dan properti. Dua dari perusahaannya sudah melantai di Bursa Efek yaitu Tira Austenite Tbk (TIRA) dan Tigaraksa Satria Tbk (TGKA). Menurut Shinta, produk konsumen memberi kontribusi terbesar atau sekitar 30% terhadap total penjualan. Sementara perusahaan di sektor properti, baru dimulai dalam waktu dekat. Untuk memperkokoh perusahaan, Sintesa gencar mengembangkan bisnis energi. Contohnya pembangkit listrik di Palembang yang semula berdaya 80 megawatt, kini ditambah menjadi 120 MW. Daya pembangkit tersebut terus ditambah hingga mencapai 200 MW. Shinta menjelaskan, penambahan tersebut bernilai 100 juta. "Kami harap akhir Oktober sudah beroperasi," kata Shinta. Selain itu, belum lama ini Sintesa memperoleh konsesi geothermal di Banten untuk dikembangkan 2012 mendatang. Shinta mengakui nilai ekspor masih baru menyumbang 5% dari total revenue. Dia meramalkan kontribusi ekspor bertambah ke depannya. Itu misalnya lewat kerja sama dengan Metro AG, perusahaan ritel asal Jerman. Per Juni lalu keduanya mendirikan perusahaan patungan (joint venture) dengan 60% dikuasai Metro. Shinta berharap, walau perlahan, ini mendorong rencana ekspansi skala global. Tahun lalu perusahaan membukukan revenue sekitar US$ 500 juta atau Rp 4,25 triliun. Shinta optimistis angka tersebut tumbuh 20% tahun ini. Sementara itu, Manajer Umum Pemasaran PT Gajah Tunggal Tbk. Arijanto Notorahardjo, berpendapat masuk GGC menunjukkan merek perusahaannya semakin dikenal dunia. "Global mengakui kualitas produk ban kami," ujar dia. Menurut dia tahun lalu GJTL memproduksi 12,5 juta ban mobil penumpang dengan target tahun ini 13 juta ban. Dari angka itu, sekitar 85% -90% diekspor ke berbagai negara. Arijanto menilai Indonesia masih potensial sebagai basis produksi ban. Terlebih dengan bertambahnya angka penjualan kendaraan di dunia. Yang terdekat, GJTL menambah kapasitas produksi per bulan menjadi 105.000 ban mobil dan 45.000 ban motor. "Dalam waktu dekat belum ada rencana tambah pabrik di luar negeri, lihat dari ekspor saja sudah bagus, produk asli Indonesia bisa bersaing di negeri orang," kata dia. Sepanjang tahun lalu GJTL meraih pendapatan penjualan senilai Rp 9,8 triliun. Perusahaan menargetkan angka melesat 27% hingga menyentuh Rp 12,5 triliun. Adapun semester I-2011 angka mencapai Rp 5,6 triliun. Sementara itu, Wakil Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk. Handaka Santosa, mengaku berminat go global. Alasannya, bisa menambah keuntungan di samping penjualan domestik. Namun, dia belum memastikan kapan dan atas proyek seperti apa. Saat ini oportunitas di dalam negeri masih besar. Artinya, dari sisi finansial layak diperhitungkan di skala global. Menurut Handaka, emiten properti ini agresif sejak listed di BEI, November 2010. Yaitu dengan mengakuisisi berbagai proyek. Dari hotel di Bali dan mal di Jakarta. "Makanya pertumbuhan penjualannya cepat, volumenya besar karena investasinya bertambah," kata Handaka. Sementara Rico Rustombi, Group Chief Corporate Affair PT Indika Energy Tbk, merasa performa bisnis perusahaannya sedang bertumbuh. Baik dari penambangan batubara, shipping, maupun infrastruktur. Yang terdekat, Cirebon Electric Power berdaya 660 MW. Menurut dia, kini CEP dalam tahap finalisasi dan ditargetkan beroperasi tahun ini. Bagi Rico, Indika aktif dan terbuka atas peluang bisnis di mana pun, termasuk luar Indonesia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Lima perusahaan lokal mulai masuk panggung world economic forum
JAKARTA. Nama Indonesia makin santer saja di dunia internasional. Belum lama ini lima perusahaan lokal menembus daftar The World Economic Forum\'s Community of Global Growth Companies (GGC) 2011. Di antaranya Sintesa Grup (PT Widjajatunggal Sejahtera), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Dexa Medica, PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), dan PT Indika Energy Tbk (INDY). Kelimanya diproyeksikan sebagai pemimpin industri yang bisa mendorong perubahan ekonomi dan sosial. Bagi Sintesa Grup, pencapaian tersebut menunjukkan adanya kesempatan perusahaan lokal berkompetisi di skala global. Sehingga, sangat penting menjaga dan meningkatkan kualitas produk agar sukses bersaing. Direktur Pengelola Sintesa Grup, Shinta Widjaja Kamdani berpendapat, kunci sukses bersaing di global tidak mesti dengan berinvestasi di negara lain. "Bukan berarti harus bangun cabang di asing, berkompetisi dengan perusahaan asing dan lokal di negara sendiri saja sudah jadi kunci," papar Shinta kepada KONTAN, Senin (19/9). Sebagai catatan, patokan masuk GGC antara lain pertumbuhan pendapatan penjualan yang konsisten rata-rata sebesar 15% per tahun. Adapun pengembalian modal (turn over) antara US$ 100 juta hingga US$ 5 miliar sesuai industri. Sintesa saat ini memayungi 17 perusahaan yang terbagi dalam empat bidang. Yaitu produk konsumen, energi, industrial, dan properti. Dua dari perusahaannya sudah melantai di Bursa Efek yaitu Tira Austenite Tbk (TIRA) dan Tigaraksa Satria Tbk (TGKA). Menurut Shinta, produk konsumen memberi kontribusi terbesar atau sekitar 30% terhadap total penjualan. Sementara perusahaan di sektor properti, baru dimulai dalam waktu dekat. Untuk memperkokoh perusahaan, Sintesa gencar mengembangkan bisnis energi. Contohnya pembangkit listrik di Palembang yang semula berdaya 80 megawatt, kini ditambah menjadi 120 MW. Daya pembangkit tersebut terus ditambah hingga mencapai 200 MW. Shinta menjelaskan, penambahan tersebut bernilai 100 juta. "Kami harap akhir Oktober sudah beroperasi," kata Shinta. Selain itu, belum lama ini Sintesa memperoleh konsesi geothermal di Banten untuk dikembangkan 2012 mendatang. Shinta mengakui nilai ekspor masih baru menyumbang 5% dari total revenue. Dia meramalkan kontribusi ekspor bertambah ke depannya. Itu misalnya lewat kerja sama dengan Metro AG, perusahaan ritel asal Jerman. Per Juni lalu keduanya mendirikan perusahaan patungan (joint venture) dengan 60% dikuasai Metro. Shinta berharap, walau perlahan, ini mendorong rencana ekspansi skala global. Tahun lalu perusahaan membukukan revenue sekitar US$ 500 juta atau Rp 4,25 triliun. Shinta optimistis angka tersebut tumbuh 20% tahun ini. Sementara itu, Manajer Umum Pemasaran PT Gajah Tunggal Tbk. Arijanto Notorahardjo, berpendapat masuk GGC menunjukkan merek perusahaannya semakin dikenal dunia. "Global mengakui kualitas produk ban kami," ujar dia. Menurut dia tahun lalu GJTL memproduksi 12,5 juta ban mobil penumpang dengan target tahun ini 13 juta ban. Dari angka itu, sekitar 85% -90% diekspor ke berbagai negara. Arijanto menilai Indonesia masih potensial sebagai basis produksi ban. Terlebih dengan bertambahnya angka penjualan kendaraan di dunia. Yang terdekat, GJTL menambah kapasitas produksi per bulan menjadi 105.000 ban mobil dan 45.000 ban motor. "Dalam waktu dekat belum ada rencana tambah pabrik di luar negeri, lihat dari ekspor saja sudah bagus, produk asli Indonesia bisa bersaing di negeri orang," kata dia. Sepanjang tahun lalu GJTL meraih pendapatan penjualan senilai Rp 9,8 triliun. Perusahaan menargetkan angka melesat 27% hingga menyentuh Rp 12,5 triliun. Adapun semester I-2011 angka mencapai Rp 5,6 triliun. Sementara itu, Wakil Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Tbk. Handaka Santosa, mengaku berminat go global. Alasannya, bisa menambah keuntungan di samping penjualan domestik. Namun, dia belum memastikan kapan dan atas proyek seperti apa. Saat ini oportunitas di dalam negeri masih besar. Artinya, dari sisi finansial layak diperhitungkan di skala global. Menurut Handaka, emiten properti ini agresif sejak listed di BEI, November 2010. Yaitu dengan mengakuisisi berbagai proyek. Dari hotel di Bali dan mal di Jakarta. "Makanya pertumbuhan penjualannya cepat, volumenya besar karena investasinya bertambah," kata Handaka. Sementara Rico Rustombi, Group Chief Corporate Affair PT Indika Energy Tbk, merasa performa bisnis perusahaannya sedang bertumbuh. Baik dari penambangan batubara, shipping, maupun infrastruktur. Yang terdekat, Cirebon Electric Power berdaya 660 MW. Menurut dia, kini CEP dalam tahap finalisasi dan ditargetkan beroperasi tahun ini. Bagi Rico, Indika aktif dan terbuka atas peluang bisnis di mana pun, termasuk luar Indonesia.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News