JAKARTA. Panitia khusus (Pansus) Pelindo II DPR dinilai tidak mengungkapkan sejumlah fakta detil terkait perpanjangan kontrak antara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH) di PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
Pertama, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak menyebut adanya kerugian negara dalam perpanjangan kontrak JICT. Hal itu tertuang dalam hasil audit bernomor 48/AUDITAMA VII/PDTT/12/2015 yang diterima Pelindo II pada tanggal 1 Desember 2015.
Dalam hasil audit tersebut, BPK hanya meminta kepada Pelindo II untuk segera mengambil alih kontrol manajemen di PT JICT. "Permintaan BPK tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh Pelindo II. Sejak 6 Juli 2015 kepemilikan saham Pelindo II telah berubah, di mana Pelindo II menguasai 50,9 persen saham, Hutchinson 49 persen saham dan Kopegmar 0,1 persen saham," ujar Dirut Pelindo II RJ Lino, Kamis (17/12) kemarin. Perubahan kepemilikan saham itu dilakukan menyusul right issue yang dilakukan JICT, di mana Pelindo II menjadi mayoritas. Sejalan dengan perubahan kepemilikan saham, Pelindo II telah mengganti direksi dan komisaris di JICT pada 6 Juli lalu.
Kedua, soal pelanggaran UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. BPK tidak mempermasalahkan implementasi Pasal 344 ayat (3) terkait konsesi dalam proses perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT dan TPK Koja. UU 17/2008 Pasal 344 ayat 3 hanya menunjuk Pasal 90 terkait lingkup Badan Usaha Pelabuhan, mengatur secara tegas bahwa pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) Kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN kepelabuhanan dimaksud. Ketentuan ini memberikan pelimpahan secara langsung kepada Pelindo I, II, III, dan IV dalam penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan. Artinya, Undang-Undang Pelayaran khususnya Pasal 344 menyatakan bahwa Pelindo I, II,III dan IV mendapat perlakuan khusus berupa konsesi yang diberikan langsung oleh undang-undang. "Jika perpanjangan JICT dianggap tidak sah karena dilakukan sebelum mendapat konsesi, maka pengelolaan pelabuhan oleh Pelindo I, II, III, dan IV sejak 2011 sampai dengan November 2015 juga dapat dianggap ilegal,” lanjut Lino. Selanjutnya dalam perpanjangan kontrak JICT, tidak ada transaksi penjualan saham. Proses yang terjadi saat ini adalah penerbitan saham baru yang diserap oleh Pelindo II dan Kopegmar. Dengan demikian terjadi dilusi terhadap porsi kepemilikan saham Hutchinson di JICT. Pembayaran uang muka kontrak (upfront fee) sebesar 215 juta dollar AS tidak bisa diartikan sebagai transaksi penjualan saham JICT. Karena ini sifatnya hanya perpanjangan kontrak kerjasama.
Keempat, perpanjangan kontrak JICT ini juga memberikan pendapatan berlipat kepada Pelindo II. Pada kontrak lama pendapatan tertinggi Pelindo dari JICT hanya 76 juta dollar AS pada 2013. Dengan kontrak baru, Pelindo II sudah mengantongi biaya sewa sebesar 85 juta dollar AS per tahun, belum termasuk dividen. Pelindo juga akan mengelola terminal II JICT.
Selanjutnya, menurut Lino, perpanjangan kontrak JICT telah melalui proses yang panjang, melibatkan banyak pihak dan lembaga negara dan profesional bereputasi baik dan akuntabel. Pelindo II menginisiasi dibentuknya Oversights Committee (OC) yang khusus untuk mengawasi proses perpanjangan kontrak ini dengan anggota seperti Erry Riyana Hardjapamekas (eks KPK), Faisal Basri (Dosen FEUI), Natalia Subagyo (Transparansi International). "Perpanjangan kontrak JICT dengan HPH merupakan opsi terbaik. Kebijakan ini akan semakin mengoptimalkan aset Pelindo II untuk mendorong kinerja perusahaan dan meningkatkaan layanan pelabuhan di Tanjung Priok semakin berkelas dunia," tegas RJ Lino. (Bambang Priyo Jatmiko) Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto