Anda sudah menonton film dokumenter berjudul
Sexy Killer yang viral belakangan ini? Kalau belum, cobalah cari waktu untuk menontonnya. Film ini utamanya mengisahkan soal efek negatif penggunaan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik. Penggunaan batubara sebagai bahan bakar pembangkit listrik memang sudah lama menjadi isu seksi di berbagai belahan dunia. Sudah banyak aktivis lingkungan yang menentang penggunaan bahan bakar fosil ini, lantaran dituding tidak ramah lingkungan. Wacana penghentian penggunaan batubara sebagai sumber energi, misalnya, muncul di China. Pemerintah China antara lain berniat menggantikan batubara dengan gas alam, karena dianggap lebih ramah lingkungan. Namun, sampai saat ini, wacana tersebut belum berjalan juga. Permintaan batubara dari China tetap tinggi.
Bagaimana dengan di Indonesia? Saat ini, mayoritas pembangkit listrik yang ada di Indonesia merupakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Mau tidak mau harus diakui, saat ini pembangkit listrik berbahan bakar batubara memang opsi paling mudah diterapkan di Indonesia. Alasannya, ongkos produksinya paling murah, cuma sekitar Rp 500 per kWh. Bahkan, dengan penetapan harga khusus batubara bagi PLN, ongkos produksi bisa ditekan hingga mencapai Rp 300 per kWh. Sementara ongkos produksi listrik menggunakan bahan baku lain masih mahal. Pembangkit listrik tenaga surya, misalnya. Berdasarkan perhitungan Kementerian ESDM pada 2017 silam, biaya produksi PLTS mencapai hampir Rp 2.000 per kWh. PLN tentu saja tidak bisa membebankan biaya produksi listrik yang tinggi tersebut ke pelanggan. Sekarang saja, masih banyak orang yang protes bila tarif listrik naik. Memang, ada alternatif lain, yakni pemerintah mensubsidi tarif listrik agar tarif yang dibayarkan konsumen tetap murah. Tapi langkah ini akan menggembosi anggaran pemerintah. Pada dasarnya, Indonesia termasuk terlambat melakukan inovasi di bidang kelistrikan. Meski wacana soal energi baru dan terbarukan (EBT) sudah didengungkan sejak lama, pengembangannya berjalan sangat lambat. Pemerintah bahkan belum memiliki payung hukum terkait EBT ini. Saat ini, legislator di Indonesia baru berniat menyusun aturan soal EBT. Rencana pembentukan undang-undang EBT masuk ke program legislasi nasional (prolegnas) 2019. Namun, hingga selesai pemilu, belum ada tanda-tanda produk undang-undang ini bakal selesai. Padahal, Indonesia menargetkan pada 2023 pemanfaatan pembangkit EBT mencapai 23%. Namun, menurut penuturan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar beberapa waktu lalu, angka bauran energi primer EBT baru mencapai 12,4%. Pelaku industri swasta sejatinya juga berusaha mengembangkan EBT untuk memproduksi listrik. Namun upaya ini terkendala pendanaan. Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) pernah menuturkan ke KONTAN, banyak independent power producer (IPP) kesulitan mendapat pinjaman bank. IPP juga kerap terganjal masalah jaminan saat berusaha mencari pinjaman bank. Pasalnya aset pembangkit listrik yang dikembangkan harus diserahkan ke pemerintah di masa mendatang.
Pemerintah sudah berusaha membantu IPP mencari dana. Pemerintah, antara lain menerbitkan aturan yang memungkinkan IPP mencari dana melalui bursa saham. Tapi saat ini belum ada realisasinya. Jadi, saat ini Indonesia masih jauh dari produksi listrik yang bersih dan ramah lingkungan. Semoga Presiden Indonesia periode 2019-2024 bisa lebih fokus mengupayakan pengembangan energi dengan bahan yang lebih ramah lingkungan.♦
Harris Hadinata Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi