Lompatan daya saing, mudik, dan hilirisasi



Kado Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriah atau Lebaran tahun ini datang dari dua kabar gembira, yakni dari dalam negeri dan luar negeri. Kita mulai dari dalam negeri terlebih dahulu. Dari banyak pemberitaan yang muncul di media terungkap bahwa mudik tahun ini sangat lancar. Bahkan, ini merupakan mudik terlancar sepanjang sejarah republik ini.

Bayangkan saja, Jakarta ke Surabaya kini bisa ditempuh lewat jalur darat kurang dari 10 jam. Jakarta ke Situbondo bahkan ditempuh hanya 14 jam. Padahal, dulunya bisa 20 jam.

Begitu juga dengan Jakarta ke Palembang. Berkat ruas jalan tol terpanjang di Indonesia, yakni Bakauheni-Palembang, Jakarta menuju Palembang bisa ditempuh hanya dalam waktu delAPAN jam.


Kelancaran arus mudik tersebut dibarengi dengan penurunan secara drastis angka kecelakaan lalu lintas darat. Menjelang Lebaran, angka kecelakaan tercatat mengalami penurunan sampai 80% dibandingkan dengan tahun lalu. Sementara jumlah korban meninggal juga turun hingga 50%.

Ditengah gonjang-ganjing dan olahan politik, ternyata ada banyak nyawa terselamatkan tahun ini karena perbaikan infrastruktur. Satu nyawa terselamatkan, menunjukkan bahwa tak sia-sia ratusan triliun rupiah yang kita investasikan untuk pembangunan jalan tol selama ini.

Kita beralih ke kabar gembira dari luar negeri. Lembaga riset yang berbasis di Swiss, IMD World Competitiveness Center merilis peringkat daya saing Indonesia 2019 melesat 11 peringkat ke atas tahun ini. Indonesia kini bertengger di urutan ke-32. Sebelumnya, tahun 2018 berada di peringkat ke-43. Raihan ini adalah lompatan daya saing tertinggi sejak republik ini berdiri.

Di antara berbagai negara di dunia, lompatan daya saing Indonesia merupakan yang tertinggi kedua dunia. Melesat 11 peringkat, Indonesia hanya terkalahkan oleh Arab Saudi yang naik 13 tingkat. Daya saing kita kini bersaing ketat dengan dua negara maju, yaitu Prancis dan Jepang, yang berada di satu dan dua tingkat di atas kita.

Digabung menjadi satu, baik mudik maupun daya saing merupakan satu hal yang menarik muncul, yakni perbaikan keduanya dipicu oleh pembangunan satu sektor yakni infrastruktur yang pembangunannya secara masif. Pembangunan infrastruktur sudah dikerjakan dalam empat tahun terakhir.

Kendati demikian, khusus untuk peningkatan daya saing memang terdapat empat indikator besar yang diukur dari peringkat tersebut, yaitu kinerja ekonomi, efisiensi birokrasi, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.

Namun, yang paling menonjol dari semua itu adalah perbaikan infrastruktur. Saat ini, daya saing infrastruktur Indonesia secara keseluruhan masih berada di posisi 53. Meski masih pada posisi tersebut, infrastruktur sudah mampu menjadi faktor pendorong yang membuat doing business di Indonesia menjadi efisien.

Peringkat business efficiency Indonesia mengalami kenaikan pesat dari posisi 35 pada 2018 lalu ke posisi 20 pada 2019. Artinya, ada perbaikan dari berbagai sisi, termasuk layanan logistik.

Tanda-tanda perbaikan sudah terlihat sejak dua tahun terakhir. Utamanya, dalam hal kemudahan berbisnis. Ease of Doing Business (EoDB) atau kemudahan berbisnis di Indonesia oleh World Bank atau Bank Dunia menunjukan banyak perbaikan di tiga aspek, yakni indeks memulai bisnis (starting a business), lalu indikator mendapatkan kredit (getting credit), dan pendaftaran properti (registering property).

Kembali ke infrastruktur, pembangunan infrastruktur memang menjadi ciri khas (unique legacy) pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Sejak reformasi, rendahnya stok infrastruktur nasional menjadi kendala percepatan pembangunan industri nasional. Makanya, suatu langkah tepat bila sejak tahun 2015 pemerintah mengalihkan belanja subsidi (konsumtif) menjadi belanja modal (produktif). Dananya dipakai untuk membangun infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Tantangan hilirisasi

Berangkat dari pencapaian di atas, meski demikian, tantangan pemerintah di periode berikut adalah bagaimana melawan stagnasi pertumbuhan ekonomi di tengah melambatnya ekonomi global, rendahnya ekspansi kredit, mendorong industrialisasi (baca: hilirisasi), dan meningkatkan ekspor guna mengatasi defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Memecahkan masalah CAD ini sangat penting sebab ini terkait dengan kinerja ekonomi nasional dan aliran modal, yang kerap mengganggu moneter dan makro kita.

Masalah CAD tidak semata-mata disebabkan oleh melemahnya kinerja ekspor, namun juga besarnya ketergantungan kita kepada impor. Utamanya, impor pangan dan bahan bakar minyak (BBM) serta bahan baku penunjang industri di dalam negeri.

Kebutuhan pangan nasional kita ditopang oleh impor sebesar 22 juta ton untuk 21 komoditas tanaman pangan. Setiap rezim yang memimpin negeri ini memang mesti menghadapi kenyataan ini. Untuk menjaga harga pangan, pemerintah juga harus menjaga stok pangan nasional agar harga-harga tidak naik di saat-saat tertentu, yang dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Serapan impor terbesar juga ditengarai datang dari proyek pembangkit listrik 35.000 Megawatt (MW). Proyek ini sempat ditunda sebab diduga salah satu penyumbang tingginya impor. Impor pengadaan komponen pembangkit listrik dari luar negeri dianggap membebani neraca perdagangan.

Namun, belakangan masalah ini bisa diatasi dengan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan proyek kewajiban menggunakan bahan bakar biodiesel sebesar 20% atau B20 bagi mesin-mesin energi, transportasi, dan industri kita.

Apapun situasi CAD, program hilirisasi yang sudah dicanangkan sejak 2014 janganlah kendor. Sejak zaman VOC sampai sekarang, nyaris tak berubah apa yang kita ekspor ke luar negeri : bahan mentah. Akibatnya, sebesar apapun kenaikan volume ekspor kita, nilainya pun tak berubah. Defisit akan senantiasa membayangi kita selagi ekspor kita tak mampu mengimbangi laju impor. Sebab yang kita ekspor tidak memiliki nilai tambah yang tinggi di pasar dunia.

Untuk itu, hilirisasi mineral tambang menjadi suatu keniscayaan. Penghentian ekspor komoditas bernilai rendah ini seharusnya memacu pengusaha tambang dan investor untuk berinvestasi dalam membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian baru. Namun, menurunkan sebuah regulasi ke lapangan tidaklah cukup tanpa melihat lintas sektoral lainnya.

Lahirnya regulasi tidak langsung menumbuhkan sentra-sentra industri baru dengan sendirinya. Berbagai kendala dunia usaha dilapangan seperti masalah ketersediaan lahan, akses permodalan, akses listrik, telekomunikasi, ego sektoral, birokrasi daerah, dan sebagainya menjadi pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi dalam periode kedua nantinya.

Namun, dengan naiknya peringkat daya saing di atas, kita optimistis kebijakan pembangunan sudah berada pada jalur dan lintasan yang tepat.♦

Bahlil Lahadalia Ketua Umum BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi