JAKARTA. Lonjakan harga pangan yang sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 2010 hingga saat ini dipastikan akan mendorong angka kemiskinan di Indonesia meningkat. Pasalnya, setengah dari pengeluaran masyarakat miskin dialokasikan untuk pangan. "Memang di dalam kemiskinan paling besar itu pengeluaran masyarakat miskin untuk pangan. Jadi kalau harga pangan naik, ya dia (masyarakat miskin) kan yang paling terkena dampaknya," kata Deputi Bidang Kemiskinan dan Tenaga Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ceppie Kurniadi Sumadilaga, Selasa (26/4). Namun, seberapa besar gejolak harga pangan itu akan mendorong angka kemiskinan, Ceppie mengaku belum bisa membeberkannya. Hanya saja, meski gejolak harga pangan mempengaruhi angka kemiskinan meningkat, ia optimistis penghitungan angka kemiskinan Maret 2010-Maret 2011 yang akan dirilis Juni mendatang masih akan berada pada range 11,5%-12,5% sesuai dengan target pemerintah. "Paling tidak kita upayakan dalam range, dan kemudian dalam range bawah (11,5%). Tapi nanti tergantung survei BPS. Pasti ada pengaruh pangan, tapi belum tahu persis penurunan dan kenaikannya. Itu kan perhitungan dalam setahun, tapi kalau ada fluktuasi di dalam perhitungannya ya mungkin saja," terangnya. Pemerintah memang terus berupaya mengatasi gejolak harga pangan. "Tapi kan bisa saja harga pangan naik, tapi kemiskinan turun. Ini kan juga enggak tergantung pangan saja, tergantung juga pada program-program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri, tergantung pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan infrastruktur yang juga kan menimbulkan high cost dan berdampak pada kemiskinan. Ini memang tergantung semua faktor, tapi pemerintah kan terus berupaya mengatasi itu, termasuk gejolak pangan," jelasnya. Namun demikian, ia tak memungkiri bahwa gejolak harga pangan sejak 2010 lalu dan inflasi tinggi yang mencapai 6,96% pada 2010, berpotensi lebih mendorong angka kemiskinan yang akan dirilis Juni nanti mendekati range atas (12,5%). "Mendekati range atas potensinya ada. Tapi itu kan perhitungannya enggak bisa dari satu sisi. Kalau kita berhasil meredam faktor lain, kemiskinan bisa turun. Kalau tidak, maka bisa baik. Secara temporer ada kemungkinan naik, tapi kan atas dasar itu pemerintah berupaya melakukan penindakan untuk mencegahnya," tandasnya. Di sisi lain Pengamat Ekonomi UGM Anggito Abimanyu pun menilai, gejolak harga pangan akan menjadi faktor utama yang mendorong angka kemiskinan. "Ya memprihatinkan sih. Maka Indonesia harus punya instrumen untuk memastikan penyediaan suplai dan memastikan harga pangannya terjangkau," terangnya. Namun, menurut Anggito jika dilihat dari beberapa faktor yang berkontribusi dalam angka kemiskinan, serta upaya yang dilakukan pemerintah, kemungkinan target pemerintah yang mematok angka kemiskinan di 11,5%-12,5% akan tercapai. "Program kemiskinan itu kan long term, enggak bisa dilihat dalam waktu singkat. Tapi kalau long term itu efektif. Kalau kita punya instrumen yang benar dan bisa menanggulangi itu, harusnya bisa tercapai targetnya," tegasnya. Sementara itu, dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) "Global Food Price Inflation and Developing Asia" menyebutkan, lonjakan harga pangan selama dua bulan pertama pada 2011 mengancam jutaan orang di negara berkembang jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem. ADB memperkirakan, harga pangan masih akan terus naik menyerupai lonjakan tajam yang terjadi di 2008. Dalam laporannya disebutkan, kenaikan harga pangan yang cepat di Asia sejak pertengahan tahun lalu dan ditambah lonjakan harga minyak mentah dunia, menjadi ancaman serius bagi kawasan tersebut yang sudah mencapai rebound tajam setelah melewati krisis finansial global. Tak heran, ADB pun melaporkan, lonjakan harga pangan itu pun membuat inflasi di sebagian negara Asia menembus angka 10% di awal 2011. Studi dari ADB mengemukakan, kenaikan harga pangan domestik hingga 10% di negara berkembang yang berpenduduk sekitar 3,3 miliar jiwa, dapat menyebabkan tambahan 64 juta orang jatuh ke kemiskinan ekstrem yang hidup dengan US$ 1,25 per hari. "Untuk keluarga-keluarga miskin di Asia, yang telah membelanjakan lebih dari 60% pendapatannya untuk makan, maka kenaikan harga pangan akan mengurangi kemampuannya untuk membayar biaya kesehatan dan pendidikan anak-anak. Krisis pangan secara buruk akan menggelayuti pencapaian pengurangan kemiskinan di Asia," kata Changyong Rhee Kepala Ekonom ADB. Menurut ADB, jika harga pangan dan minyak dunia yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2011 bertahan hingga akhir tahun, maka pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut akan berkurang hingga 1,5%. Padahal dalam jangka pendek, pola harga pangan yang lebih tinggi dan lebih bergejolak sepertinya akan berlanjut. Menurut ADB, penurunan produksi akibat cuaca buruk, ditambah melemahnya dolar AS, tingginya harga minyak dan sejumlah larangan ekspor dari negara-negara kunci telah menyebabkan kenaikan harga pangan yang sudah berlangsung sejak Juni tahun lalu. Kenaikan bahkan mencapai 2 digit untuk gandum, jagung, gula, minyak edible, produk susu dan daging. Sementara harga beras sepertinya akan meneruskan trend kenaikan akibat dampak La Nina, sehingga memicu konsumen mencari makanan pengganti yang lebih murah dan kurang bergizi. "Untuk mencegah terjadinya krisis, maka penting bagi negara-negara untuk mereview pengenaan larangan ekspor sejumlah item makanan, memperkuat jaring pengaman sosial," tegasnya. ADB berpendapat, pemerintah di negara-negara Asia memang telah mengambil sejumlah kebijakan jangka pendek guna meredam dampak inflasi harga pangan termasuk kebijakan stabilisasi harga-harga. Namun kenaikan permintaan pangan dari negara-negara Asia dan rendahnya produktivitas pangan berarti para pembuat kebijakan juga harus fokus pada solusi jangka panjang guna menghindari krisis di masa depan. "Upaya untuk menstabilkan produksi pangan harus mengambil peran pusat, dengan investasi yang lebih besar untuk infrastruktur pertanian guna meningkatkan hasil panen dan memperluas fasilitas penyimpanan untuk memperbaiki hasil produksi agar tidak terbuang," tuturnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Lonjakan harga pangan ancam jutaan orang jatuh ke jurang kemiskinan
JAKARTA. Lonjakan harga pangan yang sudah berlangsung sejak pertengahan tahun 2010 hingga saat ini dipastikan akan mendorong angka kemiskinan di Indonesia meningkat. Pasalnya, setengah dari pengeluaran masyarakat miskin dialokasikan untuk pangan. "Memang di dalam kemiskinan paling besar itu pengeluaran masyarakat miskin untuk pangan. Jadi kalau harga pangan naik, ya dia (masyarakat miskin) kan yang paling terkena dampaknya," kata Deputi Bidang Kemiskinan dan Tenaga Kerja Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ceppie Kurniadi Sumadilaga, Selasa (26/4). Namun, seberapa besar gejolak harga pangan itu akan mendorong angka kemiskinan, Ceppie mengaku belum bisa membeberkannya. Hanya saja, meski gejolak harga pangan mempengaruhi angka kemiskinan meningkat, ia optimistis penghitungan angka kemiskinan Maret 2010-Maret 2011 yang akan dirilis Juni mendatang masih akan berada pada range 11,5%-12,5% sesuai dengan target pemerintah. "Paling tidak kita upayakan dalam range, dan kemudian dalam range bawah (11,5%). Tapi nanti tergantung survei BPS. Pasti ada pengaruh pangan, tapi belum tahu persis penurunan dan kenaikannya. Itu kan perhitungan dalam setahun, tapi kalau ada fluktuasi di dalam perhitungannya ya mungkin saja," terangnya. Pemerintah memang terus berupaya mengatasi gejolak harga pangan. "Tapi kan bisa saja harga pangan naik, tapi kemiskinan turun. Ini kan juga enggak tergantung pangan saja, tergantung juga pada program-program penanggulangan kemiskinan seperti PNPM Mandiri, tergantung pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan infrastruktur yang juga kan menimbulkan high cost dan berdampak pada kemiskinan. Ini memang tergantung semua faktor, tapi pemerintah kan terus berupaya mengatasi itu, termasuk gejolak pangan," jelasnya. Namun demikian, ia tak memungkiri bahwa gejolak harga pangan sejak 2010 lalu dan inflasi tinggi yang mencapai 6,96% pada 2010, berpotensi lebih mendorong angka kemiskinan yang akan dirilis Juni nanti mendekati range atas (12,5%). "Mendekati range atas potensinya ada. Tapi itu kan perhitungannya enggak bisa dari satu sisi. Kalau kita berhasil meredam faktor lain, kemiskinan bisa turun. Kalau tidak, maka bisa baik. Secara temporer ada kemungkinan naik, tapi kan atas dasar itu pemerintah berupaya melakukan penindakan untuk mencegahnya," tandasnya. Di sisi lain Pengamat Ekonomi UGM Anggito Abimanyu pun menilai, gejolak harga pangan akan menjadi faktor utama yang mendorong angka kemiskinan. "Ya memprihatinkan sih. Maka Indonesia harus punya instrumen untuk memastikan penyediaan suplai dan memastikan harga pangannya terjangkau," terangnya. Namun, menurut Anggito jika dilihat dari beberapa faktor yang berkontribusi dalam angka kemiskinan, serta upaya yang dilakukan pemerintah, kemungkinan target pemerintah yang mematok angka kemiskinan di 11,5%-12,5% akan tercapai. "Program kemiskinan itu kan long term, enggak bisa dilihat dalam waktu singkat. Tapi kalau long term itu efektif. Kalau kita punya instrumen yang benar dan bisa menanggulangi itu, harusnya bisa tercapai targetnya," tegasnya. Sementara itu, dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) "Global Food Price Inflation and Developing Asia" menyebutkan, lonjakan harga pangan selama dua bulan pertama pada 2011 mengancam jutaan orang di negara berkembang jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem. ADB memperkirakan, harga pangan masih akan terus naik menyerupai lonjakan tajam yang terjadi di 2008. Dalam laporannya disebutkan, kenaikan harga pangan yang cepat di Asia sejak pertengahan tahun lalu dan ditambah lonjakan harga minyak mentah dunia, menjadi ancaman serius bagi kawasan tersebut yang sudah mencapai rebound tajam setelah melewati krisis finansial global. Tak heran, ADB pun melaporkan, lonjakan harga pangan itu pun membuat inflasi di sebagian negara Asia menembus angka 10% di awal 2011. Studi dari ADB mengemukakan, kenaikan harga pangan domestik hingga 10% di negara berkembang yang berpenduduk sekitar 3,3 miliar jiwa, dapat menyebabkan tambahan 64 juta orang jatuh ke kemiskinan ekstrem yang hidup dengan US$ 1,25 per hari. "Untuk keluarga-keluarga miskin di Asia, yang telah membelanjakan lebih dari 60% pendapatannya untuk makan, maka kenaikan harga pangan akan mengurangi kemampuannya untuk membayar biaya kesehatan dan pendidikan anak-anak. Krisis pangan secara buruk akan menggelayuti pencapaian pengurangan kemiskinan di Asia," kata Changyong Rhee Kepala Ekonom ADB. Menurut ADB, jika harga pangan dan minyak dunia yang sudah berlangsung sejak awal tahun 2011 bertahan hingga akhir tahun, maka pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut akan berkurang hingga 1,5%. Padahal dalam jangka pendek, pola harga pangan yang lebih tinggi dan lebih bergejolak sepertinya akan berlanjut. Menurut ADB, penurunan produksi akibat cuaca buruk, ditambah melemahnya dolar AS, tingginya harga minyak dan sejumlah larangan ekspor dari negara-negara kunci telah menyebabkan kenaikan harga pangan yang sudah berlangsung sejak Juni tahun lalu. Kenaikan bahkan mencapai 2 digit untuk gandum, jagung, gula, minyak edible, produk susu dan daging. Sementara harga beras sepertinya akan meneruskan trend kenaikan akibat dampak La Nina, sehingga memicu konsumen mencari makanan pengganti yang lebih murah dan kurang bergizi. "Untuk mencegah terjadinya krisis, maka penting bagi negara-negara untuk mereview pengenaan larangan ekspor sejumlah item makanan, memperkuat jaring pengaman sosial," tegasnya. ADB berpendapat, pemerintah di negara-negara Asia memang telah mengambil sejumlah kebijakan jangka pendek guna meredam dampak inflasi harga pangan termasuk kebijakan stabilisasi harga-harga. Namun kenaikan permintaan pangan dari negara-negara Asia dan rendahnya produktivitas pangan berarti para pembuat kebijakan juga harus fokus pada solusi jangka panjang guna menghindari krisis di masa depan. "Upaya untuk menstabilkan produksi pangan harus mengambil peran pusat, dengan investasi yang lebih besar untuk infrastruktur pertanian guna meningkatkan hasil panen dan memperluas fasilitas penyimpanan untuk memperbaiki hasil produksi agar tidak terbuang," tuturnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News